Entri Populer

Thursday, November 29, 2012

JANGAN MELUPAKAN KEBAIKAN TUHAN (Lukas 17:11-19)


Saudara-saudara, suatu hari, seorang ibu cerita kepada istri saya.  30 tahun yang lalu, ibu ini mengangkat seorang anak . . . dia merawat anak itu dengan penuh kasih sayang dan mencukupkan segala kebutuhannya.  Sampai suatu waktu, pada waktu anak itu berusia 16 tahun, kelas 1 SMA, anak ini mengetahui bahwa dia sesungguhnya bukanlah anak kandung dari keluarga tersebut . . . ia hanya seorang anak angkat. 
Saudara-saudara, setelah mengetahui kenyataan tersebut, anak ini bukannya mengucapkan terima kasih kepada orang tua angkatnya yang sudah merawat dan menjaga dirinya.  Tapi justru sebaliknya, ia mulai melakukan pemberontakan.  Ia berhenti sekolah, minum-minuman keras, dan menghabiskan harta orang tuanya. 
Setelah ia besar pun, bukannya menyadari kesalahannya . . . tapi sebaliknya ia justru memperlakukan kedua orang tua angkatnya dengan tidak hormat.  Ia hanya memberikan uang 10 ribu untuk makan 1 hari, dengan anggota keluarga 7 orang.  Kalau hitung-hitungan di atas kertas, maka setiap anggota keluarga (termasuk orang tua angkatnya), sekali makan hanya 500 rupiah saja.  Keterlaluan yah saudara . . . tapi ketika orang tuanya mengatakan: “Nak, ini tidak cukup . . .”  Anak itu hanya berkata: “Mah, cukup-cukupin saja . . . saya gak mau tahu!!!”
Saudara, kalau anak ini kekurangan secara ekonomi . . . maka mungkin keluarga pun akan memakluminya . . . tapi ternyata anak ini adalah orang yang cukup berada.  Saya membayangkan betapa pedih, sakit hati dan terhina orang tuanya itu mendapat perlakuan tersebut.  Bukannya mengatakan: “Pah . . . Mah . . . makasih karena sudah mengangkatku menjadi anak kalian.” Tapi malahan memperlakukan orang tua angkatnya dengan begitu kurang ajar.  Saudara, anak ini adalah anak yang tidak tahu bagaimana berterima kasih.      
Kalau saudara, jadi orang tua angkat anak itu . . . bagaimana perasaan saudara? Tentu saja kita marah . . . kesal . . . sedih bukan.  Dan bahkan mungkin dengan emosi kita berkata: “kalau dulu tahu bakal kurang ajar seperti ini, gak akan saya angkat jadi anak!”  Tapi saudara-saudara, walaupun anak ini adalah anak yang kurang ajar dan tidak tahu berterima kasih.  Sampai hari ini, kedua orang tua angkatnya itu tetap mengasihinya.
 Saudara-saudara, ketika saya mendengar apa yang dilakukan oleh kedua orang tua angkat anak itu.  Tiba-tiba saya kembali disadarkan mengenai kasih Tuhan kepada setiap anak-anakNya (yaitu saudara dan saya).  Dia mengangkat kita menjadi anak-Nya . . . memelihara dan menjaga hidup kita.  Bahkan ketika hidup kita menghadapi kesukaran dan jalan buntu, bukankah Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan penghiburan.  Namun saudara-saudara, seringkali kita seperti anak yang tak tahu terima kasih itu.  Bukannya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, kita malah lebih banyak mengeluh . . . mengeluh dan mengeluh!!  Kita melupakan kebaikan Tuhan dalam hidup kita.  Walaupun apa yang kita lakukan menyakiti hati-Nya, tetapi Tuhan Yesus tetap mengasihi saudara dan saya.    
Saudara-saudara, Firman Tuhan pada hari ini mengajarkan kepada kita: “janganlah kita menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih.”  Karena itu, marilah setiap orang yang merasakan kebaikan Tuhan di dalam hidupnya, datang dan mengucap syukur kepada Tuhan.”   

Saudara-saudara, sewaktu kita kecil, orang tua kita sering mengajarkan kepada kita: “kalau diberi sesuatu, ucapkanlah terima kasih.”  Sesungguhnya orang tua kita ingin mengajarkan sebuah kebiasaan untuk tidak melupakan akan kebaikan seseorang.  Jadi “mengucapkan terima kasih” seharusnya menjadi budaya yang harus kita miliki dan tidak boleh kita lupakan.  Namun tidak demikian dengan kesembilan orang kusta yang kita baca pada bagian ini.  Mereka lupa diri!!
Kalau kita lihat pada bagian Firman Tuhan yang kita baca.  Kisah ini dimulai ketika Tuhan Yesus sedang melayani di sebuah desa yang terletak antara Samaria dan Galilea.  Makanya Alkitab mengatakan dari kesepuluh orang kusta itu, ternyata ada satu orang yang adalah orang Samaria.  Setelah mereka mendengar mengenai mukjizat dan kesembuhan yang sudah dilakukan oleh Tuhan Yesus di berbagai tempat.  Saya membayangkan tekad mereka untuk bertemu dengan Tuhan Yesus yang datang ke desa mereka.  Mereka berharap, agar Tuhan dapat menyembuhkan penyakit kusta mereka.  Namun saudara, mereka tidak berani muncul di depan umum, untuk bertemu dengan Tuhan Yesus.  Mengapa? Sebab dalam kebudayaan Yahudi pada waktu itu, seorang yang terkena penyakit kusta adalah seorang yang najis.  Mereka harus dikucilkan oleh masyarakat, dan tidak boleh dekat-dekat dengan masyarakat umum. 
Saudara-saudara, pada waktu itu, orang yang menderita penyakit kusta adalah orang yang paling menderita.  Bayangkan saja sudah menderita dengan kusta yang menggerogoti tubuh mereka . . . ternyata mereka harus memperoleh perlakuan yang tidak enak (dikucilkan, dijauhi) Belum lagi mereka harus memandang tatapan penghakiman orang yang mengatakan: “najis loe.”  Oh betapa, terhina dan menderita sekali menjadi orang kusta.  Nah dalam keadaan yang begitu menderita secara fisik, emosi dan sosial . . . mereka bertemu dengan Tuhan Yesus dan dalam keputusasaannya, mereka teriak kepada Tuhan: “Yesus, Guru, kasihanilah kami.
Saudara-saudara, bukankah apa yang dilakukan oleh kesepuluh orang kusta itu juga sering kita lakukan.  Ditengah permasalahan kehidupan . . . terjepit dengan masalah ekonomi . . . kita teringat akan Tuhan dan berkata: “Tuhan tolonglah kami.”  Dan Tuhan pun tidak segan-segan menolong diri kita. 

Saudara-saudara, saya ingat sekali bagaimana Tuhan menolong mamih saya.  Selama bertahun-tahun mamih saya menderita pendarahan.  Mukanya pucat pasi kekurangan darah.  Melihat keadaannya hati kami sangat sedih.  Tapi apa daya saudara, pada waktu itu kami tidak memiliki uang untuk mengobati penyakit mamih saya.  Setiap hari kami berdoa, dan berharap  agar Tuhan menyembuhkan penyakit mamih saya.  Tapi ternyata harapan saya tidak terjadi.  Tuhan menggunakan cara yang lain. 
Sampai suatu kali, pada bulan Februari tahun 2005, ketika mamih saya cek ke rumah sakit ternyata ada tumor dalam kandungannya.  Dan dokter mengatakan bahwa rahimnya harus segera diangkat.  Jadi, mau tidak mau . . . mamah saya harus di operasi.  Bila tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih parah.  Di tengah kekuatiran akan keadaan mamih dan juga keterbatasan dana, kami pun berdoa . . . dan singkat cerita operasi berjalan dengan baik dan Tuhan mencukupkan segala sesuatunya.  Bahkan yang luar biasanya, mamih saya menjadi Kristen karena peristiwa ini.  
Saudara-saudara, saya yakin kita semua memiliki pengalaman akan kebaikan Tuhan dalam kehidupan kita.  Setiap kebaikan yang Tuhan berikan kepada kita seharusnya menjadi reminder atau pengingat agar kita tidak menjadi lupa diri.  Kita harus menanamkan segala kebaikan Tuhan dalam pikiran dan hati kita.  Masih ingatkah saudara, ketika engkau bergumul mencari pekerjaan ataupun merintis usahamu . . . engkau datang kepada Tuhan dan berdoa agar Tuhan selalu memberkati usaha pekerjaanmu.  Dan Tuhan memang memberkatimu. 
Masih ingatkah saudara, ketika engkau bergumul dalam kesulitan ekonomi . . . engkau datang kepada Tuhan.  Tuhan yang mendengarkan doamu dan memulihkan keuangan keluargamu.  Masih ingatkah saudara, disaat engkau mengalami kelemahan tubuh . . . pergi ke berbagai dokter, namun tidak ada seorang dokter yang sanggup mengobatimu.  Dan setiap pagi engkau terus berdoa kepada Tuhan.  Dan dengan ajaibnya, Tuhan menyembuhkanmu!!    
Masihkah engkau juga mengingat ketika engkau bergumul mencari pasangan hidup . . . engkau tahu untuk mendapatkan pasanganmu ini bukanlah hal yang mudah, butuh usaha keras.  Namun Tuhan mempertemukanmu dengan pasanganmu saat ini.  Dan masih ingatkah saudara, ketika engkau merindukan kehadiran seorang bayi dalam keluargamu . . . namuan bertahun-tahun engkau menunggu dan berusaha melakukan segala hal, tapi lalu ketika engkau berdoa kepada Tuhan.  Tuhan mendengarkan permintaanmu, dan tidak hanya memberikan satu anak tapi satu lusin.         
Saudara-saudara, masih ingatkah kebaikan yang sudah Tuhan berikan kepada kita? Kalau Tuhan sudah begitu baik kepada kita.  Marilah sebagai ungkapan syukur kita, jangan pernah kita melupakan kebaikan Tuhan, apalagi sampai menyia-nyiakan apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita.

Saudara-saudara, seperti yang saya katakan, orang yang tidak tahu berterima kasih adalah orang yang mudah sekali melupakan kebaikan seseorang.  Dan hal ini lah yang terlihat dari kesembilan orang kusta tersebut.  Di mana setelah mereka mendapat kesembuhan, tapi mereka melupakan Tuhan yang menyembuhkan penyakit mereka.  Makanya dalam ayat 17 Tuhan Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Lalu dimanakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah diantara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain daripada orang asing ini?
Saudara-saudara, ketika saya membaca bagian ini, saya berpikir, “Mengapa Tuhan masih mau menyembuhkan ke sembilan orang kusta yang tidak tahu berterima kasih itu?  Bukankah di dalam ke mahatahuanNya, Dia tahu betul bahwa dari sepuluh orang kusta itu . . . hanya satu saja yang datang kepada-Nya untuk berterima kasih!!  Lalu kenapa Tuhan Yesus masih mau menyembuhkan mereka?” 
Saudara, Matius 5:45 memberikan jawaban sebab Tuhan Yesus adalah Allah yang maha kasih yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan tidak benar.  Dan pada bagian ini, Ia juga adalah Allah yang mau menyembuhkan orang yang tahu terima kasih dan tidak tahu terima kasih.
Saudara-saudara, kenapa ke sembilan orang kusta itu tidak kembali kepada Tuhan?  Bukankah Tuhan Yesus sudah begitu baik kepada mereka, sehingga mereka dipulihkan dari penyakit mereka.  Lalu mengapa mereka tidak datang untuk mengucap syukur kepada-Nya.  Sebab sejak awal mereka datang kepada Tuhan Yesus hanya untuk mencari kesembuhan dan pemulihan secara sosial semata.  Di mana mereka bisa diterima kembali oleh masyarakat umum.  Tapi tidak demikian dengan orang Samaria itu, walaupun bagi orang Yahudi, orang Samaria adalah orang kafir yang tidak mengenal Allah.  Namun orang Samaria yang dianggap kafir inilah yang menyadari bahwa Pribadi yang menyembuhkannya itu bukanlah guru biasa.  Tapi Tuhan Yesus adalah Allah itu sendiri.  Karena itulah, dia datang kepada Tuhan Yesus dan tersungkur dihadapan-Nya sambil mengucap syukur untuk semua kebaikan Tuhan. 
Saudara-saudara, memang kesepuluh orang kusta itu mendapatkan kesembuhan secara fisik.  Tapi hanya orang Samaria itulah yang mendapatkan kehidupan kekal, karena imannya lah dia semakin mengenal siapa Tuhan Yesus dalam hidupnya. 
Saudara-saudara, bukankah banyak orang Kristen saat ini seperti ke sembilan orang kusta tersebut, yang hanya datang kepada Yesus untuk mencari kelimpahan, kesuksesan, keamanan hidup bukan mencari Tuhan itu sendiri.  Makanya tidak heran John Piper mengatakan bahwa banyak orang Kristen yang tidak memuliakan Tuhan karena hidup mereka hanya untuk kesenangan diri.  Mereka menggunakan Tuhan Yesus hanya untuk meraih kekayaan, kemakmuran, dan kenyamanan diri.

Saudara-saudara, saya pernah besuk seorang bapak.  Dulu ia adalah seorang yang rajin datang ke gereja dan melayani Tuhan.  Namun satu hari, ketika usahanya bangkrut dan tidak ada yang tersisa.  Akhirnya dia marah, dan tidak mau lagi pergi ke gereja. Karena ia menganggap bahwa Allah adalah yang kejam.  Berulangkali saya mengajaknya untuk kembali ke gereja, tapi ia mengatakan: “untuk apa saya datang ke gereja . . . untuk apa saya percaya Tuhan Yesus . . . berkali-kali saya berdoa meminta Tuhan memulihkan usaha saya . . . tapi buktinya, sampai hari ini keadaan saya seperti ini.”

Saudara-saudara, memang di tengah permasalahan kehidupan yang kita alami . . . mudah sekali kita menjadi kecewa terhadap Tuhan dan tidak dapat mengucap syukur.  Hal ini terjadi karena kita mudah sekali melupakan kebaikan Tuhan di masa lampau.  Seandainya saja kita selalu mengingat apa yang sudah Tuhan berikan kepada kita, maka saya percaya di tengah tantangan dan masalah kehidupan yang kita alami . . . kita tidak akan mudah mengeluh dan meninggalkan Tuhan. 
Karena itu saudara-saudara, janganlah kita mudah melupakan kebaikan Tuhan.  Sebab dengan mengingat kebaikan yang Tuhan berikan kepada kita, maka hati kita akan dipenuhi dengan ungkapan syukur, termasuk di saat sulit sekalipun.  Dengan demikian kita menjadi anak-anak Tuhan yang tahu berterima kasih.     

Hari ini, marilah kita mengambil waktu untuk mengingat kembali akan kebaikan Tuhan dalam hidup kita.  Dan marilah kita juga sama-sama berdoa mengucap syukur atas kebaikan yang sudah Tuhan berikan kepada kita.   

Wednesday, July 11, 2012

Mazmur 128: “Pria sebagai Sumber Berkat dalam Keluarga.”[1]



Pada zaman ini kita melihat ada begitu banyak keluarga yang tidak bahagia.  Bahkan tidak sedikit keluarga yang mengalami kehancuran.  Kalau kita melihat berita-berita selebritis di televisi, berita mengenai keretakan rumah tangga . . . perceraian . . perselingkuhan menjadi berita yang seringkali diekspose oleh media.  Kita melihat bahwa pada zaman ini, pernikahan tidak lagi dinilai sebagai sesuatu yang berharga.    
Memang tidak ada data yang tersedia mengenai berapa banyak orang-orang Kristen yang mengalami kehancuran keluarga di Indonesia. Tetapi kemungkinan besar, pasti ada orang Kristen juga.  Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Barna di Amerika, dikatakan bahwa ada 26 % keluarga Kristen yang berakhir dengan perceraian. Itu berarti bahwa dalam setiap sepuluh keluarga Kristen, ada sekitar dua hingga tiga keluarga yang bercerai.  Ini adalah jumlah yang cukup mengejutkan sebab persentase ini lebih tinggi dari pada mereka yang atheis dan agnostik yang tidak percaya akan Allah.[2]
            Mengapa banyak keluarga yang tidak bahagia dan hancur saat ini??  Saya melihat salah satu penyebab terbesarnya adalah karena kaum pria tidak lagi menjalankan peranannya dalam keluarga.  Banyak pria yang membangun pekerjaannya tapi tidak membangun keluarganya . . . banyak pria yang mengembangkan usahanya kemana-mana tapi tidak mengembangkan komunikasi dengan istri dan anak-anaknya.  Banyak pria yang mengajarkan anak-anaknya bagaimana harus berbisnis tapi tidak mengajarkan anak-anaknya untuk takut akan Tuhan.  Banyak pria yang mengabaikan peranannya sebagai imam dalam keluarga.  Padahal, Tuhan memilih kaum pria untuk menjadi kepala keluarga . . bertanggung jawab untuk memelihara keluarganya secara fisik maupun rohani. 
            Apakah ada diantara kita yang menginginkan keluarga yang tidak bahagia?? Adakah diantara kita yang berbahagia ketika keluarga kita ada dalam masalah atau di ambang kehancuran??  Adakah seorang anak menginginkan kedua orang tuanya untuk berpisah?? Saya yakin tidak ada, setiap kita pasti menginginkan keluarga yang bahagia dan utuh . . . betul??  Lalu bagaimana supaya kita bisa memiliki keluarga yang bahagia??
Dalam ayat 1, Firman Tuhan mengatakan: “Berbahagialah setiap orang yang takut akan Tuhan.”  Pada bagian ini, jelas sekali bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang takut akan Tuhan.  Kata “bahagia” di sini dalam bahasa Inggrisnya adalah “blessed” yang artinya diberkati.  Dengan kata lain, setiap orang yang takut akan Tuhan bukan hanya bahagia tapi juga akan memperoleh berkat dari pada Tuhan. 
Pertanyaannya: Berkat seperti apa yang Tuhan berikan kepada orang yang takut akan Tuhan? Berkat yang diberikan Tuhan disini jelas sekali adalah berkat rumah tangga.  Dimana pada bagian ini digambarkan bahwa istrinya akan mendatangkan kesukaan dalam keluarganya, karena ia tidak akan memalukan suaminya.  Dan anak-anaknya akan kokoh dalam iman karena melihat teladan kedua orang tuanya.  Berkat rumah tangga inilah yang diberikan Tuhan kepada pria atau suami yang takut akan Tuhan.  Apa yang menjadi ciri seorang pria yang mencerminkan takut akan Tuhan?? Salah satu ciri yang pemazmur katakan adalah bahwa hidupnya menuruti Jalan Tuhan. 

Dalam Imamat 26:3 & 14, Tuhan mengatakan: “Jikalau kamu hidup menuruti ketetapanku dan tetap berpegang pada perintahKu serta melakukannya . . . maka aku akan mendatangkan berkat bagimu.”  Tetapi . . . “jikalau kamu tidak mendengarkan Daku, dan tidak melakukan segala perintah itu maka aku akan menghukummu.”
Saudara-saudara, inilah janji Tuhan kepada bangsa Israel dan kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya.  Di mana setiap orang yang hidup menuruti Jalan Tuhan maka berkat  Tuhan akan menyertai orang tersebut.   

Bangsa Israel meyakini janji Allah ini.  Mengapa? Sebab Janji itu terbukti dalam kehidupan Daud dan Salomo.  Ketika masa pemerintahan Daud dan Salomo, bangsa Israel melihat bahwa Tuhan memberkati pemerintahan mereka dan menjadikan Yerusalem sebagai kejayaan Israel.  Dalam zaman mereka, Tuhan memberikan kemakmuran . . . kedamaian . . . kesejahteraan dan keamanan.  Karena Allah bersama-sama dengan Daud, maka Israel ditakuti oleh bangsa-bangsa lain. 
Namun setelah zaman Daud dan Salomo, raja-raja Israel tidak lagi hidup di dalam jalan Tuhan.  Mereka tidak lagi menyembah kepada Tuhan tapi menyembah kepada berhala-berhala.  Berulang-ulang kali Tuhan memanggil mereka untuk kembali kepada jalan Tuhan, tapi mereka menolaknya.  Karena para pemimpin bangsa Israel menyembah berhala, maka banyak keluarga di Israel pun meninggalkan jalan Tuhan.  Akibatnya, bangsa Israel dibuang oleh Tuhan karena mereka tidak lagi hidup takut akan Tuhan.    
Dalam masa-masa pembuangan inilah, bangsa Israel di ajak untuk kembali mengingat akan janji Tuhan.  Ketika dalam perjalanan menuju Bait Allah di Yerusalem, kaum pria dari bangsa Israel diajak untuk membaca Mazmur ini mengenai betapa pentingnya seorang pria yang hidup dalam jalan Tuhan dan yang takut akan Tuhan.  Sehingga ketika mereka  datang ke rumah Tuhan . . . mereka bukan sekedar beribadah, tapi mereka kembali mengambil komitmen untuk menjadi imam dan kepala keluarga yang membawa keluarga mereka kembali ke jalan Tuhan. 
Ketika seorang pria berbalik kepada Tuhan . . . maka keluarganya akan berbalik kepada Tuhan.  Ketika keluarga-keluarga berbalik kepada Tuhan . . . maka pemimpin Israel akan kembali kepada Tuhan.  Dan ketika pemimpin berbalik kepada jalan Tuhan maka mereka berharap bahwa Yerusalem akan kembali dipulihkan oleh Tuhan.  Inilah iman kepercayaan dari bangsa Israel. 
GII Hok Im Tong memiliki motto sebagai berikut: “mentransformasi keluarga untuk mentransformasi dunia.”  Jadi untuk membawa perubahan di dalam dunia ini, maka yang perlu kita lakukan adalah merubah kehidupan keluarga.  Untuk mengubah keluarga, maka diperlukan seorang pria yang takut akan Tuhan yang hidupnya sesuai dengan jalan Tuhan.  Jadi saudara-saudara, peranan pria yang takut akan Tuhan sangat PENTING dalam keluarga. 

Pada Abad 18, hidup 2 orang yang bernama: Jonathan Edwards dan Max Jukes.  Jonathan Edwards adalah seorang hamba Tuhan yang begitu mengasihi Tuhan seumur hidupnya.  Ia membangun keluarganya dengan takut akan Tuhan.  Sebagai hasilnya, sejarah mencatat bahwa dari keturunannya didapati sebagai berikut: 1 Wakil Presiden Amerika, 3 Senator Amerika, 3 Gubernur Amerika, 3 Walikota Amerika, 13 Presiden Universitas, 30 Hakim, 65 Profesor, 80 Pemegang jabatan publik, 100 Pengacara dan 100 Misionaris.
Sedangkan Max Jukes, adalah seorang pemabuk . . . hidupnya gak karuan . . . dan ia tidak menghargai keluarganya.  Ia hidup dengan caranya sendiri bukan dengan cara Tuhan.  Dan sejarah mencatat bahwa dari keturunannya didapati: 7 Pembunuh, 60 Pencuri, 50 Wanita yang tidak benar, 130 Narapidana, 310 Orang miskin, 400 Cacat, dan keturunannya telah merugikan negara lebih dari US$ 1.250.000 (sekitar 12 Milyar).

            Melalui perbandingan kehidupan kedua orang di atas, kita bisa melihat bahwa ketika seorang pria tidak lagi menjalankan tugasnya sebagai imam, maka bukan hanya dirinya saja yang dirugikan tapi juga seluruh keturunannya.  Itulah sebabnya, penting sekali bagi kaum pria untuk menjadi imam bagi keluarganya.  Namun nampaknya sayang sekali, ada begitu banyak pria . . . suami dan ayah yang tidak menyadari peranannya dalam keluarga.
            Kalau kita melihat zaman ini, banyak pria yang tidak berperan besar dalam keluarganya.  Mungkin karena beban perekonomian yang dia tanggung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga seringkali mengabaikan istri dan tidak mengajarkan imannya kepada anak-anaknya.  Atau mungkin juga tantangan dunia saat ini yang tidak lagi menghargai pernikahan, sehingga banyak pria yang tidak menjaga kekudusan pernikahannya, akibatnya banyak keluarga yang hancur . . . perceraian . . . dan sekali lagi anaklah yang menjadi korban.  Atau mungkin, banyak pria yang tidak lagi berperan dalam keluarga itu disebabkan karena banyak wanita yang mengambil peranan pria.  Apalagi pada zaman emansipasi wanita ini, rasanya ada begitu banyak wanita yang lebih dominan dari suaminya.      
            Seorang pria diciptakan menjadi kepala keluarga yang harus dihormati . . . istri diciptakan untuk menjadi penolong pria bukan mengambil alih peranan pria dalam keluarga.  Bila keluarga kita ingin diberkati, maka setiap pria harus kembali kepada jalan yang sudah Tuhan tetapkan.  Tentu saja hal ini tidak terjadi dalam satu malam.  Kita perlu membangunnya setiap hari.  Karena itu, seorang pria perlu menyadari dan menghargai peranannya dalam keluarga serta menjaga dirinya di dalam kekudusan.  Sedangkan seorang istri perlu mendukung dan mengingatkan suami untuk menjadi seorang pria yang hidup di dalam jalan Tuhan yang menjadi teladan iman bagi istri dan anak-anaknya.
            Karena itu, berbahagialah setiap istri yang memiliki suami yang takut akan Tuhan, sebab berkat Tuhan ada dalam keluarga dan keturunan saudara.  Tapi bagi istri yang suaminya belum percaya kepada Tuhan, maka berdoalah bagi suamimu supaya ketika ia dimenangkan oleh Tuhan . . . ia menjadi suami yang takut akan Tuhan . . . dan keluarga Anda  pun akan berbahagia dan bersukacita. 

Saya adalah seorang pria . . . saya adalah seorang suami . . . saya juga adalah seorang calon ayah.  Ketika saya mempersiapkan bagian ini, saya sungguh diingatkan oleh Tuhan mengenai peranan penting seorang pria yang takut akan Tuhan.  Di mana melalui pria yang takut akan Tuhanlah maka berkat itu akan dicurahkan ke dalam keluarga kita.
            Namun satu sisi, saya juga menyadari bahwa menjadi seorang pria yang takut akan Tuhan bukanlah suatu hal yang mudah.  Si Iblis tidak akan berdiam diri begitu saja, dia akan memberikan kita begitu banyak tantangan dan godaan untuk menghancurkan dan membelokkan pria menjadi imam dalam keluarganya.  Tapi saya percaya, selama kita bergantung sepenuhnya kepada Allah, dan memiliki komitmen untuk hidup sesuai dengan jalan Tuhan.  Maka Tuhan akan menjaga dan memelihara diri kita.  Melalui pria-pria yang berkomitmen inilah, keluarga kita akan menjadi keluarga yang berbahagia.  Mari kita berdoa untuk pria-pria.       

POKOK DOA
Para Pria, Firman Tuhan mengatakan bahwa Tuhan akan memberkati setiap pria yang takut akan Dia.  Maukah pada hari ini engkau berkomitmen kepada Tuhan untuk menjadi imam bagi keluargamu?  Membangun keluargamu dengan takut akan Tuhan?

Para Wanita, anda diciptakan Allah untuk menjadi penolong bagi suamimu.  Maukah engkau terus mendoakan dan mendukung suamimu untuk menjadi imam dalam keluargamu?  Silahkan hari ini doakan suamimu.



[1]Disadur dari khotbah pribadi Ev. Paulus (8 Juli 2012)
[2]Pdt. Ekaputra Tupamahu, M.A, M.Div,  Sebuah Kajian Teologis oleh Departemen Pendidikan dan Litbang (www.akademia.edu, "Perceraian dan Nikah Ulang")

Thursday, April 12, 2012

JESUS and HIS CROSS (Lukas 23:26-43)

Salib dalam PB digunakan sebagai lambang yang memalukan dan penghinaan.  Bagi orang Romawi, salib dipakai bukan hanya untuk menyiksa dan menghukum mati  tapi juga sebagai alat untuk menghukum orang dengan cara yang sangat memalukan (pengolokan, penghinaan, siksaan, ditelanjangi) di depan umum.  Jadi, orang yang disalibkan begitu terhina karena mati ditonton dihadapan orang banyak.  Sedangkan bagi orang Yahudi, salib adalah kutukan (Ul. 21:23).  Bagi orang pada waktu, seseorang yang disalib adalah orang yang terhina dan terkutuk.
            Namun yang menjadi perenungannya adalah, siapa yang tergantung di atas kayu salib pada waktu itu?? Tuhan Yesus . . . dan siapakah Tuhan Yesus?? Ia adalah Allah yang mulia . . . Pencipta alam semesta ini . . . Pemilik Surga dan Bumi inilah yang tergantung di atas kayu salib.  Di sana Ia dipermalukan dan menanggung kutuk! 
            Kalau penjahat-penjahat lain yang ada disebelah kanan dan kirinya dipermalukan dan menanggung kutuk karena kejahatan mereka.  Tetapi Tuhan Yesus tergantung di atas kayu salib, dipermalukan dan menanggung kutuk bukan karena akibat kesalahan-Nya.  Namun karena dosa-dosa manusia lah, Ia harus menangung salib itu.  Ia dikutuk karena ketidaksetiaan kita . . . karena kebencian kita . . . karena ketamakan kita . . . karena ketidakpercayaan kita . . . karena pelanggaran-pelanggaran kita kepada  Allah.  Karena dosa-dosa kita lah, Ia berkata: “Eloi . . . Eloi . . . lamakh sabakhtani!!!” “AllahKu . . . AllahKu . . . mengapa Engkau meninggalkan-Ku.”
            Walaupun Ia tahu di atas salib . . . murka Allah dilimpahkan kepada-Nya, tapi Ia tetap naik ke atas salib.  Ia dihina tapi Ia terdiam . . . Ia menderita tapi Ia tidak mengeluh diatas salib itu, sebaliknya Ia justru mendoakan mereka, kata-Nya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (ayat 34)
              Untuk apa Ia menanggung semuanya itu?? Bukankah lebih baik Ia menghukum kita saja . . . membinasakan kita karena tidak ada satu pun manusia dalam dunia ini yang dapat menyenangkan Dia karena dosa-dosa manusia.  Jelas sekali bahwa Ia melakukan semuanya ini karena KASIH-NYA kepada kita sehingga Ia mau naik ke atas salib itu dan menderita, supaya manusia yang percaya kepada-Nya bisa bersama-sama dengan Dia di sorga yang mulia. 

            Melalui karya SALIB Tuhan Yesus kita bisa melihat dua hal,
Pertama, berkaitan dengan waktu, tidak ada kata terlambat untuk menerima karya salib itu.  Karya salib itu selalu terbuka untuk semua orang yang menerima-Nya.  Kita bisa melihatnya pada ayat 41-43, di sana seorang penjahat berkata kepada penjahat lainnya dengan mengatakan: “Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini (Tuhan Yesus) tidak berbuat sesuatu yang salah.”  Lalu ia berkata kepada: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.”  Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” 
Pada bagian ini, kita bisa melihat bahwa penjahat yang tinggal menunggu ajalnya itu akhirnya percaya kepada Tuhan Yesus, dan saat itu juga ia bersama-sama dengan Tuhan Yesus di Firdaus.  Mendengar perkataan Tuhan Yesus ini, kita kembali disadarkan bahwa tidak ada kata terlambat untuk menerima Injil Kristus Yesus.  Karena itu, bila ada diantara kita yang masih belum percaya kepada Tuhan Yesus, sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, maka hari ini terimalah Dia dengan sungguh-sungguh dan hari ini engkau akan bersama-sama dengan Tuhan Yesus di Firdaus. 
Mungkin ada diantara kita sebagai anak-anak Tuhan yang merasa seperti penjahat itu.  Kita merasa diri kita kotor . . . kita merasa diri kita jahat . . . sehingga kita berkata: “walaupun aku anak Tuhan, rasanya aku tidak pantas untuk Tuhan Yesus karena diriku yang kotor . . . yang hina . . . !!!  Hari ini jangan ragu untuk datang kepada Tuhan kita Yesus Kristus.  Selama Tuhan masih berikan kita kesempatan untuk bertobat, mari kita datang mengakui semua keberdosaan kita kepada-Nya dan engkau akan dipulihkan.  TIDAK ADA SATU PUN DOSA YANG TIDAK DAPAT DITEBUS OLEH TUHAN YESUS.  DAN TIDAK ADA SATU PUN DOSA YANG TIDAK DAPAT DIAMPUNI OLEH TUHAN KITA YESUS KRISTUS. 
Kedua, berkaitan dengan cakupan keselamatan.  Karya salib itu diberikan bukan untuk satu bangsa tapi diberikan kepada semua orang yang membuka hati-Nya untuk percaya kepada-Nya.  Kalau dalam status masyarakat, seorang penjahat adalah sampah masyarakat, tapi Tuhan Yesus juga melihat bahwa seorang penjahat juga berharga dihadapan-Nya, sehingga Ia juga mencurahkan darah-Nya untuk penjahat itu.  Keselamatan bukan hanya milik segelintir orang tapi semua orang yang mau percaya kepada-Nya (syaratnya adalah percaya).  Misalnya: saya pernah datang ke sebuah gereja di Solo.  Saya mendengar dari jemaat bahwa ada satu kampung yang tadinya dipenuhi oleh preman dan wanita tuna susila akhirnya kampung itu dimenangkan bagi Kristus.  Di sini kita melihat bahwa karya salib diberikan untuk  orang kecil . . . orang hina . . . sampah masyarakat . . . orang miskin yang ingin membuka hati-Nya bagi Kristus.      

            Lalu apa respon kita menanggapi karya salib Tuhan Yesus?
Pertama, percayalah kepada salib itu . . . karena melalui salib itu lah, kita diselamatkan dan dipersatukan kembali dengan Tuhan kita Yesus Kristus.
       Kedua, setiap orang yang percaya kepada-Nya sudah sepatutnya mengambil bagian dalam karya salib-Nya.  Mengapa? Sebab bagi orang percaya, salib bukan lagi lambang kehinaan dan murka Allah.  Tapi salib adalah lambang kemuliaan dan kasih Allah karena Tuhan Yesus tergantung di atas salib. 
         Salib itu diberikan Tuhan Yesus kepada kita, bukan pilihan kita!!  Sama seperti ketika Simon Kirene menanggung atau memikul salib Tuhan Yesus itu bukan karena dia mau tapi karena itu diberikan kepadanya (walaupun melalui paksaan semua prajurit, namun apa yang terjadi dalam kehidupan manusia ada dalam kehendak-Nya).
            Tentu saja, pemahaman yang benar mengenai mengambil bagian dalam karya salib-Nya itu adalah mengambil bagian dalam penderitaan bagi Kristus.  Namun sayangnya, banyak orang kristen yang meninggalkan Tuhan Yesus karena tidak memiliki pemahaman ini, sehingga tidak sedikit yang meninggalkan Tuhan Yesus karena tidak mau menderita.  Bahkan banyak orang Kristen karena takut ditolak dan menderita, mereka tidak lagi memberitakan Injil.  Padahal penderitaan dan penolakan adalah bagian dari salib Tuhan Yesus yang diberikan kepada kita dan yang harus kita pikul di dalam mengikuti-Nya. 
          Kalau kita melihat kehidupan saat ini, kita dapat menemukan ada begitu banyak orang Kristen yang mundur bila mendapatkan penderitaan, pergumulan dan permasalahan hidup yang berat.  Misalnya: saya pernah tinggal setahun di wilayah Indonesia Timur.  Di sana saya sering mendengar bahwa ada banyak orang-orang Kristen yang meninggalkan iman mereka karena ingin mendapatkan sekolah gratis dan bantuan sosial lainnya.  Akhirnya mereka meninggalkan Tuhan Yesus demi tawaran dunia dan kenikmatan pribadi.
Saya yakin tidak ada seorang pun yang ingin menderita dalam dunia ini, tapi kalau kita harus menderita demi Tuhan Yesus itu adalah sebuah kemuliaan bagi kita.  Lagipula dalam penderitaan dan pergumulan hidup yang kita alami setiap hari, kita juga belum sampai mencucurkan darah demi nama Tuhan Yesus.  Firman Tuhan berkata dalam Lukas 9:23, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” 
Bila kita adalah sungguh-sungguh murid-Nya, marilah kita menghadapi salib penderitaan karena Kristus, Tuhan kita.  Marilah kita menerima semuanya itu, karena kita yakin bahwa salib yang kita adalah lambang kemuliaan yang Tuhan berikan bagi orang percaya.  Janganlah kita menghindari salib itu, tapi lihatlah salib itu sebagai kemuliaan kita sehingga kita berlomba-lomba berkarya bagi salib-Nya.  

Sunday, April 8, 2012

FOLLOWING JESUS: Pay the Cost (Matius 8:21-22)

Dalam sebuah acara penghiburan, ada seorang anak yang beragamakan Kristen.  Namun ayahnya yang meninggal itu adalah seorang yang masih belum percaya kepada Kristus, sehingga almarhum menggunakan upacara keagamaannya.  Pada waktu itu, ada seorang jemaat bertanya kepada saya demikian: “Pak, tahu gak semua anak-anaknya itu adalah orang Kristen, bukankah seorang yang sudah menjadi orang Kristen tidak boleh melakukan ritual - agama ayahnya - tersebut?”  Menurut Bapak bagaimana? Lalu jemaat yang lainnya juga mengatakan: “Memang sulit yah pak, kalau kita jadi anak itu dan tidak melakukan hal tersebut maka kita akan dianggap sebagai anak yang tidak berbakti, dan akhirnya akan terjadi perselisihan dalam keluarga.”
Kemudian dalam sebuah kelas katekisasi, seorang remaja mengatakan bahwa ia dipaksa oleh keluarganya untuk mengikuti ritual agama keluarga mereka yang bertentangan dengan iman kekristenan (seperti: sembahyang kepada nenek moyang).  Ia mengatakan bahwa, ia terpaksa melakukannya . . . dan ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa setelah orang yang memaksanya itu “tidak ada lagi,” ia akan membersihkan rumahnya dari ritual-ritual tersebut.
Menanggapi pertanyaan dan pernyataan tersebut, seringkali kasus-kasus praktis dalam kehidupan ini dapat menimbulkan dilema dalam iman kita.  Karena itu, ketika saya mendengarkan kisah-kisah tersebut saya kembali teringat dengan  sebuah bagian Firman Tuhan yang terambil dari Matius 8:21-22.  Melalui tulisan ini saya akan mengulas kembali mengenai maksud perkataan Tuhan Yesus dalam bagian ini.  Setelah itu saya akan memberikan implikasi (dampak) dan relevansi perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 8:21-22 dengan kisah di atas.  Kemudian di bagian akhir saya akan memberikan kesimpulan.

LATAR BELAKANG MATIUS 8:21-22
Pada perikop ini, jelas sekali bahwa Tuhan Yesus mengajarkan mengenai HARGA yang harus dibayar oleh orang-orang yang ingin mengikuti Dia.  Dengan kata lain, Tuhan Yesus ingin mengingatkan kembali para pembacanya mengenai PEMURIDAN yang SEJATI.  Melalui bagian ini, kita melihat ada seorang murid Tuhan Yesus - kemungkinan besar bukan salah satu dari kedua belas murid Tuhan Yesus, tapi seseorang dari sekumpulan besar orang-orang yang ingin mengikuti Tuhan Yesus[1] -  Seorang murid itu meminta kepada Tuhan Yesus untuk menguburkan ayahnya, baru setelah itu ia akan mengikuti-Nya.  Namun Tuhan Yesus mengatakan kepadanya, “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.”
Dalam kebudayaan Yahudi kuno, menguburkan seorang ayah merupakan suatu tugas keagamaan, sebab hukum Taurat pun mengajarkan kepada bangsa Israel untuk menghormati ayah dan ibu mereka (lih. Kel. 20:19).  Pada bagian ini,  kemungkinan besar murid ini bukan meminta ijin untuk pergi ke pemakaman ayahnya, tapi untuk berhenti mengikuti Tuhan Yesus sampai ayahnya meninggal.  Padahal Mungkin ia adalah seorang anak sulung dan menginginkan kepastian mengenai warisannya, atau mungkin juga ia tidak mau menghadapi kemarahan ayahnya bila ia meninggalkan usaha keluarga untuk mengikuti Tuhan Yesus dan menjadi pengkhotbah keliling.[2]   
Lagipula bila kita melihat dalam kebudayaan Yahudi, dalam menguburkan seorang ayah yang baru saja meninggal, orang itu harus ikut berpartisipasi selama enam hari perkabungan setelah kematian tersebut.  Bila kita melihat dari sudut pandang panggilan untuk pemuridan, hal ini menunjukkan adanya penundaan.[3]  Jadi di sini jelas sekali bahwa murid itu ingin menunda-nunda di dalam mengikuti Tuhan Yesus dan juga tidak mau membayar harga di dalam mengikutiNya. 
Hal ini terlihat jelas dari perkataannya dan Tuhan Yesus juga merasakan adanya keengganan dalam dirinya.  Makanya tidaklah mengherankan bila kita melihat sebuah reaksi negatif dari Tuhan Yesus yang mengatakan: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.”  Melalui kata Tuhan Yesus: “Ikutlah Aku . . .” Tuhan Yesus menantang muridNya untuk mempertimbangkan bahwa komitmennya harus sungguh-sungguh tanpa ada rasa keberatan.  Jika orang ini benar-benar menginginkan untuk mengikuti Yesus, maka ia tidak akan menunggu sampai  ia telah memenuhi seluruh tanggung jawab tradisinya.[4] 
Pada bagian ini Tuhan Yesus tidak menyarankan bahwa anak-anak mengabaikan tanggung jawabnya kepada orang tua.  Sebaliknya, Tuhan Yesus menguji loyalitas murid itu kepada Nya, sama seperti dalam tradisi Yahudi, di mana seorang imam besar dan orang-orang yang telah mengambil sumpah nazar diharuskan oleh hukum untuk menghindari mayat bahkan orang tua (lih. Im. 21:11; Bil. 6:6).  Bahkan ada ketetapan Yahudi yang mengatakan bahwa seorang mahasiswa tidak boleh berhenti belajar untuk mengubur orang mati.  Sebagai Anak Allah, Tuhan Yesus memiliki kapasitas untuk tidak segan-segan menuntut kesetiaan lengkap.  Bahkan loyalitas kepada keluarga tidak boleh mengambil prioritas dalam tuntutan ketaatan manusia terhadap diri-Nya.[5]          
Jadi, di sini kita melihat bahwa kewajiban kita sebagai anak, keamanan finansial, persetujuan keluarga atau sesuatu yang lain tidak boleh melebihi komitmen atau loyalitas kita terhadap Tuhan Yesus.  Dengan kata lain, Tuhan Yesus harus menjadi yang paling utama dari segala prioritas kehidupan kita.  A Follower of Jesus Christ had to pay any cost to following Him in their life.    

IMPLIKASI MATIUS 8:21-22 TERHADAP PEMURIDAN MASA KINI
      Murid Kristus sejati adalah murid yang bersedia untuk membayar harga di dalam mengikuti-Nya.  Bila dihubungkan dengan kisah di atas, sikap murid Kristus yang berani membayar harga adalah sikap yang non-kompromi dengan pandangan, ajaran, dan budaya dalam dunia ini.  Mengenai sikap non-kompromi ini, John Stott mengatakan dalam bukunya yang berjudul The Radical Discipleship,
gereja – atau orang percaya - memiliki tanggung jawab ganda dalam kaitannya dengan dunia sekitar kita.  Di satu sisi kita ada untuk hidup, melayani, dan bersaksi di tengah-tengah dunia ini.  Namun pada sisi yang lain kita menghindarkan diri agar tidak terkontaminasi oleh dunia ini.[6] 
Sebagai kaum orang percaya atau orang Kristen, kita dipanggil untuk dapat melihat batasan jelas itu,  sehingga kita tidak terjatuh ke dalam sikap melarikan diri dari dunia ini (eskapisme) atau terjatuh kedalam sikap kompromi sehingga kita menjadi sama dengan dunia ini (konformisme).  Ia juga menambahkan bahwa,
panggilan Allah adalah pemuridan yang radikal yakni non-konformitas yang radikal terhadap budaya yang ada di sekitar kita.  Ini adalah panggilan untuk menumbuhkan sebuah budaya alternatif (counter culture) Kristiani, sebuah panggilan untuk terlibat namun tidak berkompromi.”[7] 
Jadi, disini jelas sekali bahwa sebagai seorang murid, kita tidak terpisah dari dunia ini.  Namun dalam kehidupan di dunia ini, kita perlu memiliki pemikiran dan kehidupan yang berbeda dari dunia ini.  Karena itu, dalam kehidupan kita di dunia ini, kita harus menjadi murid-murid Kristus yang radikal yang tidak sama dengan dunia ini.  Seperti yang Tuhan Yesus katakan dalam Matius 6:8, “Janganlah kamu seperti mereka” dan Rasul Paulus katakan dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.”      
Bila prinsip non-kompromi ini dihubungkan dengan kisah diatas, jelas sekali bahwa dengan mengambil bagian dalam ritual agama yang bertentangan dengan iman Kristen, mereka telah mengambil sikap kompromi.  Akibatnya, orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah pengikut Kristus akan melihatnya mereka sebagai pengikut agama lain - saya sendiri juga baru menyadari bahwa mereka adalah orang Kristen karena ada yang memberitahukannya pada saya, bila tidak maka saya pun akan melihat mereka sebagai orang-orang non-kristen – sedangkan bagi orang yang tahu bahwa mereka adalah orang Kristen tentu saja akan menjadi batu sandungan.      
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sikap mereka yang melakukan kompromi terhadap budaya ataupun keinginan orang lain (orang tua) menunjukkan bahwa mereka bukanlah murid-murid Tuhan Yesus yang radikal yang mau membayar harga dalam mengikuti-Nya.    

KESIMPULAN

      Dalam kehidupan iman kita untuk menjadi murid Kristus yang sejati, banyak hal yang terlihat “abu-abu” atau tidak jelas.  Akibatnya, seringkali kita memikirkan dan mencari solusi yang tidak berdasarkan kepada prinsip Firman Tuhan, sehingga tidaklah mengherankan bila banyak orang Kristen yang mengambil sikap kompromi di dalam menyelesaikan permasalahannya.  Banyak orang Kristen yang akhirnya tidak mau membayar harga di dalam mengikuti Kristus.  Karena itu, biarlah tulisan ini dapat mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk menjadi murid Kristus yang sejati,  dan seorang murid Kristus yang sejati adalah seorang murid yang mau membayar harga untuk terus setia mengikuti-Nya.




[1]Donald A. Hagner, Matthew 1-13. WBC (Vol. 33a; Dallas: Word, 2002) 217.
[2] B. B. Barton, Matthew. LABC (Wheaton, Illinoise: Tyndale House Publishers, 1996) 160.
[3]Hagner, Matthew 1-13. WBC: 217.
[4]Barton, Matthew. LABC: 160.
[5]Ibid.
[6]John Stott, (Surabaya: Literatur Perkantas Jatim, 2010) 15.
[7]Ibid. 16-17

Monday, March 14, 2011

REFLEKSI: Siapakah Sesamaku Manusia?? (Luk. 10:25-37)

        Siapakah sesamaku manusia?”  Pertanyaan ini diajukan oleh seorang ahli Taurat yang berusaha mencobai Tuhan Yesus dan membenarkan dirinya.  Sebenarnya orang ini (ahli Taurat) tahu betul siapa yang dimaksud dengan sesamanya manusia.  Namun menurut pemahamannya, yang dimaksud dengan sesama manusia adalah orang-orang yang terdekat dengan dirinya atau setidaknya orang-orang yang satu bangsa dengan dirinya (yaitu: sesama orang Yahudi).  Karena itulah, Tuhan Yesus menggunakan perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati ini.  Tujuannya adalah agar ahli Taurat itu dapat melihat bahwa yang dimaksud dengan sesama manusia itu lebih luas dari pemahamannya. 
            Berbeda dengan para pemuka agama (imam dan orang Lewi) yang seharusnya tahu bagaimana mengasihi sesamanya manusia karena mereka lebih “tahu” Firman Allah.  Namun  ternyata mereka tidak mempedulikan dan bahkan menghindari orang yang “sekarat” karena dirampok oleh para penyamun.  Orang Samaria yang dipandang sebelah mata dan juga dianggap sebagai musuh oleh orang Yahudi, ternyata pada bagian ini Tuhan Yesus menceritakan bahwa orang Samaria ini menolong orang Yahudi - yang seharusnya menjadi musuhnya - yang sekarat itu dengan totalitas yang begitu besar.  Dia membalut luka-lukanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, menaikkannya ke atas keledai tunggangannya, dan membawa ke tempat penginapan untuk merawatnya (ayt. 34).  Bahkan orang Samaria itu membayar biaya pengobatan sampai orang yang dirampok itu sembuh. 
            Kalau kita melihat apa yang dilakukan orang Samaria itu, sungguh dia melakukannya dengan totalitas yang begitu tinggi.  Namun yang menjadi pertanyaannya, kenapa orang Samaria itu mau repot-repot melakukannya? Bukankah yang ditolong itu adalah musuhnya? Orang Samaria itu melakukan semua itu karena dia tidak memiliki “batasan-batasan” mengenai siapa sesamanya.  Baginya, orang yang menderita dan membutuhkan pertolongan adalah sesamanya yang perlu ditolong.  Perbedaan ras, suku bangsa, ekonomi, golongan sosial, dan juga garis keluarga tidak menghalangi dirinya untuk manyatakan kasih Allah. 
Melalui orang Samaria yang baik hati ini, kita dapat belajar bagaimana seharusnya kita memandang dan mengasihi sesama kita.  Sebagai anak-anak Tuhan, seharusnya kita tidak membuat batasan-batasan di dalam menyatakan kasih Allah.  Perbedaan ras, kelas sosial, ekonomi dan apapun juga itu (termasuk musuh kita sekalipun), seharusnya tidak menjadi hambatan bagi kita untuk menyatakan kasih Allah.  Marilah kita belajar dari orang Samaria yang baik hati ini . . . milikilah belas kasihan kepada sesama kita . . . sehingga kita dapat menjadi berkat buat orang-orang yang ada disekitar kita.    
            Ketika kita melihat ke sekeliling kita, dan bertanya: “Tuhan, siapakah sesama manusia?”  Kita akan menemukan bahwa sesama kita bukan hanya orang-orang yang ada di dalam gereja, keluarga, teman pergaulan kita, teman satu suku dengan kita.  Tapi sesama kita adalah orang-orang yang dipandang hina dan yang dianggap sampah oleh dunia ini.  Anak-anak jalanan, pengemis, pengamen, orang yang terjatuh pada narkoba dan lain sebagainya.
            Seorang hamba Tuhan bercerita dalam khotbahnya mengenai kehidupan seorang anak jalanan yang dia asuh.  Kisah ini dimulai ketika ayah anak itu dihukum 20 tahun penjara karena telah membunuh orang.  Mendengar suaminya dipenjara, istrinya langsung pergi dari rumah, dan meninggalkan anaknya yang baru berusia 7 tahun ini sendirian.  Seorang anak yang masih kecil ini tidak tahu harus berbuat apa dan tidak tahu harus makan apa!!  Akhirnya anak ini mengumpulkan kantong plastik dan membuat sebuah atap untuk berteduh . . . anak ini pun tinggal di sebelah bak penampungan dekat penjara. 
Setiap pagi, anak ini bertemu dengan ayahnya melalui lubang gerbang penjara.  Melalui lubang itu, ayahnya berkata: “nak, hari ini kamu harus menghasilkan uang sekian besarnya, kalau kamu tidak bawa uang sesuai dengan apa yang bapa minta . . maka kamu jangan datang ke sini.”  Akhirnya anak ini pergi dan mengemis di pinggiran jalan . . . dia mengumpulkan uang sesuai dengan permintaan ayahnya.  Dia bercerita kepada hamba Tuhan ini bahwa uang yang dikumpulkannya tidak bisa dipakai untuk makan.  Mengapa? Sebab dia harus mengumpulkan sejumlah uang yang diminta oleh ayahnya.  Kalau tidak, maka dia tidak memiliki tempat tinggal lagi.  Anak ini telah dimanfaatkan oleh ayahnya . . . tapi ayahnya pun terpaksa melakukan hal itu karena ayahnya ini juga diperas oleh sipir penjara.  
Kebanyakan orang hanya melihat anak ini sebagai pengemis.  Bagi masyarakat modern, seorang pengemis, anak-anak terlantar, dan pengamen adalah “SAMPAH” kota yang harus dibersihkan.  Bagaimana cara pandang gereja dan umat Tuhan??  Apakah orang seperti anak ini adalah “SAMPAH DUNIA?” atau “SESAMA KITA?”  Bila kita memandang mereka sebagai SESAMA KITA, apa yang telah kita lakukan bagi mereka??? apakah kita peduli dengan mereka dan mau menolong mereka??? Setidaknya sudahkan gereja dan umat Tuhan memikirkan apa yang bisa kita perbuat bagi “SESAMA KITA” yang dipandang “SAMPAH” oleh dunia ini!!! 
Tuhan Yesus dalam kisah ini berkata: “Jadi, siapakah sesama manusia?”  Jawab ahli Taurat itu: “orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.”  Jadi, hanya orang yang memiliki dan menunjukkan belas kasihan Allah kepada sesamanya lah yang disebut dengan SESAMA.  Tuhan Yesus menutup percakapan ini dengan berkata: “Pergilah dan perbuatlah demikian.”  Maksudnya adalah jangan kita terus mempertanyakan mengenai siapakah sesama manusia . . . tapi PERGI dan NYATAKAN lah belas kasihan itu kepada orang-orang yang ada disekitar kita.  Baik itu keluarga kita . . . teman-teman kita . . . sanak saudara kita . . . bahkan orang yang dianggap sebagai MUSUH dan juga SAMPAH DUNIA.  Kiranya Tuhan memakai gereja Tuhan dan umat-Nya untuk menyatakan belas kasihan Tuhan kepada sesama kita.

Tuesday, March 8, 2011

Pandangan Rasul Paulus mengenai Adam dan Kristus

    Pemikiran Paulus mengenai tipologi Adam dan Kristus merupakan suatu hal yang penting dalam doktrin kekristenan.  Walaupun kita tidak dapat menganggap tema Adam sebagai pusat dari teologi Paulus, namun tema ini memainkan peranan yang cukup penting dalam kristologinya.[1]  Bahkan dalam perkembangan teologi Barat, kita akan menemukan bahwa pemikiran Paulus mengenai Adam dan Kristus ini sangat  mempengaruhi teologi-teologi Barat.  Misalnya saja, seorang bapa gereja mula-mula yang bernama Agustinus merumuskan doktrin dosa asal-nya berdasarkan pada kejatuhan Adam ke dalam dosa.[2]  Yang di kemudian hari pemikiran Agustinus tersebut mempengaruhi para reformator dalam memandang Adam dan Kristus.  Di mana Adam membawa dosa ke tengah manusia dalam satu waktu dalam sejarah dan Kristus menebus manusia dalam waktu lain dalam sejarah.[3]  Oleh karena itulah, kita menemukan urutan dasar dari covenant theology[4] Reformed didasarkan pada analogi Adam dan Kristus.[5]  
            Selain Agustinus, bapa gereja yang bernama Cyril pun mengatakan, “. . . the Adam-Christ typology plays an even more decisive role, for it is both a key theological concept . . .”[6]  Jadi bagi Cyril, tipologi Adam dan Kristus merupakan hal yang paling penting dalam teologi.  Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis akan kembali menguraikan peranan Adam dan Kristus dalam teologi Kristen, khususnya teologi evangelical
Sistematika penulisan pada makalah ini adalah sebagai berikut: Pertama-tama, penulis akan memberikan latar belakang dari pemikiran Paulus mengenai konsep Adam dan Kristus.  Melalui latar belakang ini penulis ingin menjawab pertanyaan, apakah pemikiran Paulus mengenai Adam dan Kristus tersebut dipengaruhi oleh pemikiran Yunani atau Yahudi? Mengapa Paulus menggunakan gambaran Adam dan Kristus?  Kedua, penulis akan menguraikan ayat-ayat Alkitab yang membahas Adam dan Kristus.  Melalui penguraian dan interaksi dalam bagian ini, penulis berharap akan menemukan makna dari perkataan Paulus mengenai Adam dan Kristus.  Setelah itu, penulis akan menutup tulisan ini dengan memberikan beberapa implikasi dari pemikiran Paulus terhadap pengajaran-pengajaran Kristen.   

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN PAULUS MENGENAI ADAM DAN KRISTUS.
            Pengertian kita terhadap surat-surat Paulus mengenai Adam dengan jelas akan dipengaruhi oleh pendapat kita mengenai sejauh mana pemikiran Yunani atau Yahudi mempengaruhi Paulus.  Beberapa penafsir dari aliran sejarah agama-agama berpendapat bahwa Paulus dipengaruhi oleh gagasan gnostik Urmensch.  Gagasan ini menyatakan adanya suatu makhluk mitos yang mulia, yang dipercayai sebagai tokoh penyelamat.[7]  Di mana manusia primal atau Urmensch tersebut turun dari surga untuk melepaskan manusia dari perhambaan dunia materi dan membawanya kembali ke kawasan terang dan hidup.[8]  Jadi, Urmensch diduga mengandung semua jiwa di dalam dirinya, semacam Adam yang ideal.[9]  Namun referensi Paulus tentang Kristus sebagai manusia dari surga tidak merefleksikan ide kecenderungan seperti itu, dan dapat dijelaskan berdasarkan latar belakang Adam dan Anak Manusia eskatologis.[10] 
Beberapa penafsir melihat gagasan-gagasan ini terdapat di belakang pengajaran Yahudi tentang Adam; karena fungsi menyelamatkan dihubungkan dengannya, ia dikatakan sebagai bayangan Mesias penyelamat yang akan datang.  Namun tampaknya bukti-bukti yang ada tidak mendukung adanya hubungan Adam dengan Mesias.  Jadi pandangan teologi Yahudi berhubungan dengan mitos Urmencsh perlu dikesampingkan.[11]  Jadi kesimpulannya adalah bahwa pemikiran Paulus mengenai Adam sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yahudi. 
Namun pendekatan Paulus ini juga berbeda dengan para penafsir Yahudi.  Paulus memandang Adam hanya sebagai lambang dari manusia yang sudah jatuh dan tidak berspekulasi tentang kemuliaan sebelumnya.[12]  Sedangkan para penafsir Yahudi asyik menggambarkan keadaan Adam untuk memperlihatkan betapa dalamnya Adam telah jatuh.[13]  Adam dipandang sebagai bapa leluhur yang pertama, sebagai raja dunia, dan sebagai hikmat.  Kedudukan Adam yang penting dalam teologi para rabi tidak dapat disangkal.  Hal yang paling penting dalam pengajaran mereka mengenai Adam adalah keasyikan mereka dengan status Adam sebelum ia jatuh dalam dosa, dan bukan keadaannya sesudah itu.  Karena itu, pengharapan orang-orang Yahudi terletak pada kepercayaan bahwa kelak akan ada pemulihan kemuliaan manusia seperti sebelumnya.[14]
             
PANDANGAN PAULUS MENGENAI ADAM DAN KRISTUS.
            Pandangan Paulus mengenai Adam dan Kristus dapat dilihat dalam dua perikop utama yang membahas tema ini, yaitu Roma 5:12-21 dan 1 Korintus 15.  Melalui bagian ini,  penulis akan menguraikan bukti-bukti alkitabiah dari pemikiran Paulus mengenai Adam dan Kristus.

ROMA 5:12-21
            Roma 5:12-21 tidak menguraikan sifat Kristus dengan memakai tema Adam.  Tujuan utama dari teks ini adalah Paulus ingin menerangkan penyelamatan manusia dan bagaimana datangnya penyelamatan itu, sehingga pada bagian ini tema Adam dinomorduakan.  Pemikiran Paulus dalam Roma 5:12-21 ini sesuai dengan kepercayaan orang Yahudi yang mempercayai bahwa dosa masuk melalui Adam dan menjalar kepada semua orang, yang mengakibatkan kematian bagi semua orang.[15]  Dalam menggambarkan Adam dan Kristus, Paulus menggunakan pola struktur kiastik dalam Roma 5:12-21:[16]
A.  Dosa masuk ke dalam dunia dan kematian karena dosa (v.12)
B.  Dosa ada dalam dunia sebelum hukum Taurat, namun dosa tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum taurat (v.13)
C.  Pemberontakan Adam vs kasih karunia (v.14-16)
D. Kuasa maut/berkuasa atas hidup (v.17)
C′. Pemberontakan vs perbuatan benar/ketaatan (v.18-19)
B′. Hukum Taurat hadir (v.20)
A′. Dosa dan kematian: kebenaran dan hidup (v.21)
Dalam pola kiastik tersebut, bagian pusat dari struktur di atas menunjuk kepada adanya pemindahan otoritas dari kematian kepada hidup bagi mereka yang menerima anugerah dan pemberian atas kebenaran.[17]  Riddderbos mengatakan:
Seperti Adam adalah dia yang melaluinya dosa masuk ke dalam dunia dan melalui dosa masuklah kematian, demikianlah Kristus adalah Dia yang memberikan hidup dan kebenaran.  Kristus dan Adam berdiri sebagai wakil agung dari dua aeon, yaitu kehidupan dan kematian.  Dalam pengertian itu, sebagai wakil dua dispensasi dan dua umat manusia, Adam bisa disebut sebagai “gambaran Dia yang akan datang” (ay. 14), yaitu manusia kedua dan aeon yang akan datang, di mana Adam adalah gambaran-Nya.  Seperti Adam membawa dosa dan maut ke dalam dunia, Kristus dalam ketaatan-Nya (yaitu oleh kematian-Nya) dan kebangkitan-Nya, membawa hidup bagi kemanusiaan baru.[18]

Jadi kesimpulan dari Roma 5:12-21 yaitu apa yang Adam hilangkan diperoleh kembali oleh Kristus.  Di mana tujuan Yesus membalikkan dosa Adam adalah untuk mengembalikan umat manusia kembali kepada pemenuhan dari jabatan Adam, yaitu kembali kepada tahta penciptaan.[19]  Melalui Dia (Kristus), permulaan yang baru diadakan untuk manusia.  Di mana Kristus menjadi Kepala dari manusia baru, sebagaimana Adam menjadi kepala dari manusia yang lama.[20] 

1 KORINTUS 15
            Dalam 1 Korintus 15:22, Paulus mengkontraskan Adam dengan Kristus.  Dalam ayat ini, Paulus dengan sangat jelas memperlihatkan keunggulan Kristus yang lebih tinggi daripada Adam.  Menurut Paulus, Adam merupakan manusia kematian, tetapi Kristus adalah manusia yang mempunyai kuasa untuk memberikan hidup.  Dalam 1 Korintus 15:45 kontras ini diberikan dalam istilah yang agak berbeda, yaitu Kristus secara khusus disebut sebagai “Adam yang akhir.”  Di sini perbedaannya ialah antara Adam, manusia pertama sebagai “makhluk yang hidup” (psukhikon) dan Adam yang akhir yaitu Kristus sebagai “roh pemberi hidup” (pneumatikon).[21] 
Ridderbos menafsirkan “Adam yang akhir” ini sebagai berikut:
Sebutan “Adam yang akhir” ini merupakan sebutan khas dari aspek eskatologis pengajaran Paulus: Kristus dinyatakan sebagai Pembuka Jalan bagi kemanusiaan yang baru, dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati juga yang membuatnya menjadi “Adam yang akhir” . . . . Di mana Kristus sebagai manusia kedua dan Adam yang akhir adalah Dia yang dalam kebangkitan-Nya, hidup baru dari ciptaan baru telah datang dan telah menjadi realitas. . . .”[22]

Jadi Ridderbos menafsirkan “Adam yang akhir” ini dari pemikiran eskatologis Paulus, khususnya kebangkitan Kristus.[23]  Namun Guthrie menambahkan, yang penting mengenai pribadi Kristus ialah kontras antara Adam yang pertama dan yang akhir.  Di mana apa yang sebetulnya diharapkan dari Adam pertama direalisasikan oleh Adam yang akhir.  Lebih dari itu, Adam yang akhir, sebagai manusia yang sempurna, merupakan “pengantara dari kemanusiaan sejati.”  Namun yang perlu diingat juga adalah bahwa Adam yang akhir  ini “berasal dari sorga,” dan hal ini tidak pernah dilupakan oleh Paulus.[24]  
Perbandingan Adam dan Kristus dalam 1 Korintus 15 ini semakin memuncak pada ayat 46-49, di mana Paulus menggambarkan perbedaan Adam dan Kristus sebagai berikut.[25]   
Adam Pertama
Adam Kedua
46: “alamiah”
47: “manusia pertama”
“dari debu tanah dan bersifat jasmani”
48: “makhluk-makhluk alamiah sama
dengan dia yang berasal dari debu
tanah”
49: “sama seperti kita telah memakai rupa
dari yang alamiah.”
“rohaniah”
“manusia kedua”
“dari surga”
“makhluk-makhluk sorgawi sama dengan
Dia yang berasal dari sorga.”

“kita akan memakai rupa dari yang
 surgawi”
Perbandingan di atas menempatkan Adam kedua pada perspektif yang benar, yaitu walaupun Kristus memiliki kemanusiaan yang lain dengan Adam, namun Kristus tetap manusia sejati.  Malah kita harus berpikir tentang Adam yang akhir sebagai wakil yang sempurna dari manusia.[26]   Pada bagian ini Paulus tidak berpikir tentang Adam yang akhir sebagai pelopor suatu bangsa baru sebagaimana Adam yang pertama merupakan pelopor manusia yang sudah jatuh.  Sebab bila kita mengira bahwa Adam yang akhir mempelopori bangsa yang baru, maka hal ini akan mengaburkan hubungan yang penting antara manusia yang jatuh dan manusia yang diselamatkan.[27]

KESIMPULAN
            Tujuan Paulus dengan menggunakan tipologi Adam dan Kristus adalah untuk menunjukkan Kristus yang lebih unggul daripada Adam.  Di mana melalui Yesus semua manusia yang percaya kepada-Nya kembali kepada pemenuhan dari jabatan Adam mula-mula, yaitu kembali kepada tahta penciptaan.  Di dalam Yesus lah permulaan yang baru diadakan bagi orang percaya, di mana Yesus menjadi Kepala dari manusia baru, sebagaimana Adam menjadi kepala dari manusia yang lama. 

IMPLIKASI 
            Beberapa implikasi dari pemikiran Paulus mengenai Adam dan Kristus adalah sebagai berikut:
            Pertama, berkaitan dengan doktrin manusia dan dosa.  Kalangan evangelical percaya bahwa dosa masuk melalui Adam dan melalui dia menjalar kepada semua orang, dan dosa Adam mengakibatkan kematian bagi semua orang.[28]  Namun paham Armenian menyangkali adanya imputasi dari dosa.  Menurut mereka tidak ada manusia yang dihukum secara kekal karena dosa asal, manusia dihukum karena dosanya sendiri.  Pandangan kaum Armenian ini bertentangan dengan apa yang dinyatakan dalam Roma 5:12-21.[29]  Leithart dengan tegas mengatakan, “when sin is not imputed it is because sin does not exist.”[30]  Keberadaan dosa dan maut ini menunjukkan bahwa semua manusia berdosa dan harus menanggung konsekuensi dari pemberontakan Adam.  Namun seperti dosa yang diimputasikan kepada manusia, maka kebenaran juga akan diimputasikan bagi setiap orang yang percaya kepada Kristus (Rm. 5:18-19).   
            Kedua, berkaitan dengan doktrin keselamatan.  Seperti yang telah dipaparkan di atas, pelanggaran Adam telah mengakibatkan seluruh manusia berdosa dan ada di bawah kuasa maut (Rm. 5: 15,17 ; 1 Kor. 15:21-22,26).  Namun ketaatan Kristus membuat kasih karunia Allah melimpah atas banyak orang dan memberikan hidup bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.  Pusey mengatakan, “we have been condemned to death because of the transgression of Adam, the whole human nature suffering this in him. . . For he was first of the race, but in Christ we bloom again to life.”[31]  Memang benar bahwa dosa Adam mengakibatkan penghakiman dan penghukuman bagi seluruh manusia, tetapi karya Kristus di atas kayu salib menghasilkan pembenaran bagi setiap orang yang mau datang kepada-Nya.  Hal ini menunjukkan bahwa hanya di dalam diri Yesus sajalah, maka setiap orang berdosa yang percaya kepada-Nya akan dibenarkan dan diberikan hidup kekal.
            Ketiga, berkaitan dengan doktrin Kristologi.  Dalam sepanjang sejarah kejatuhan manusia, kita telah melihat bahwa Allah telah memberikan anugerah perjanjiannya bagi umat manusia.  Hal ini dapat kita lihat, ketika Allah berinisiatif membuat perjanjian dengan Adam, Nuh, Abraham, Musa, dan Daud.  Namun perjanjian tersebut gagal dilakukan oleh bangsa Israel.  Akhirnya Allah mengutus Anak-Nya yaitu Yesus Kristus untuk menggenapi perjanjian Allah di dalam karya penebusan-Nya.  Melalui Yesus dan karya penebusan-Nya, maka semua aeon yang sekarang kehilangan kekuatannya dan aeon yang baru telah tiba.  Ridderbos mengatakan, “dalam kematian dan kebangkitan Kristus, rahasia rencana penebusan Allah menyatakan diri dalam karakter sejatinya dan ciptaan baru telah datang.”[32]
Keempat, dalam kehidupan kekristenan kita.  Kejatuhan Adam membawa seluruh manusia berada dalam garis yang lama (aeon lama) yaitu garis kejatuhan.  Namun melalui Kristus, setiap orang yang percaya telah berpindah dari garis yang lama (aeon lama) kepada garis yang baru (aeon baru) yaitu garis yang membawa pada hidup dan kebenaran.  Oleh karena itu, setiap orang-orang percaya yang berada dalam garis yang baru (aeon baru), maka tentu saja kehidupan orang-orang percaya harus mencerminkan kehidupan yang berbeda dari garis yang lama (aeon lama).  Dengan kata lain, kehidupan orang-orang percaya harus mencerminkan Kristus sebagai Kepala dari aeon baru itu.
Seperti kemanusiaan yang lama ada “di dalam Adam,” maka ciptaan baru ada “di dalam Kristus.”  Sampai Kristus datang, semua manusia terkena akibat yang tidak menyenangkan dari pelanggaran Adam dan hanya suatu ciptaan barulah yang memungkinkan keluputan dari akibat-akibat yang melumpuhkan ini.[33]



[1]Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I: Allah, Manusia, dan Kristus (Jakarta: Gunung Mulia, 1995) 377.
[2]Agustinus merumuskan doktrin dosa asalnya berdasarkan Roma 5:12-21.  (Peter J. Leithart, “Adam, Moses, and Jesus: A Reading of Romans 5:12-14.” Calvin Theological Journal 43/2 [November, 2008] 257)
[3]Paul Enns, The Moody Handbook of Theology 1 (Malang: SAAT, 2004) 380.
[4]Teologi kovenan mengajarkan bahwa Allah secara inisial membuat kovenan kerja dengan Adam, menjanjikan hidup yang kekal bagi yang taat dan kematian bagi mereka yang tidak taat.  Adam gagal, dan kematian memasuki kehidupan umat manusia.  Namun Allah bertindak untuk menyelesaikan dilema manusia dengan memberikan kovenan anugerah, di mana melaluinya masalah dosa dan kematian dapat diselesaikan.  Kristus adalah mediator terakhir dari kovenan anugerah Allah.  (Paul Enns, The Moody Handbook of Theology 2 [Malang: SAAT, 2004] 139).
[5]Leithart, “Adam, Moses, and Jesus” 257.
[6]Robert L. Wilken, “Exegesis and The History of Theology: Reflections on The Adam-Christ Typology in Cyril of Alexandria.”  Church History 35/2 (June, 1966) 139.
[7]Menurut aliran tersebut, gagasan ini terdapat dalam banyak agama, dan kepercayaan ini, yang tersebar luas, dianggap merupakan salah satu dasar dari Kristologi Paulus.  Tetapi pendapat ini didasari oleh penyelidikan yang begitu luas mengenai bahan-bahan yang bermacam-macam tanpa memperhatikan penanggalan, sehingga metodologi teori apa pun yang berdasarkan bahan-bahan itu harus di curigai (lih. Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 378.)
[8]George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru 2 (Bandung: Kalam Hidup, 1993) 165.
[9]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 378.
[10]Ladd, Teologi Perjanjian Baru 166.
[11]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 378.
[12]Baik Paulus maupun orang-orang sezamannya yakin bahwa Adam merupakan alat agar dosa dapat memasuki dunia (Ibid).
[13]Pandangan Yahudi tentang Adam dapat diringkaskan sebagai berikut: Pertama, dosa Adam dikatakan sebagai ketidaktaatan pada Taurat; Kedua, sebagai akibat dosa, Adam kehilangan kemuliaannya semula, kekekalannya, ketinggiannya, buah dari bumi, buah dari pohon-pohonan, dan terang-terang dunia; Ketiga, dosa Adam membawa kematian bagi seluruh umat manusia sebagai akibat dari keputusan ilahi; Keempat, bumi dihukum karena dosa Adam; Kelima, dosa mengakibatkan pemutusan hubungan Adam dengan Allah (Ibid. 378-379).  Pandangan Yahudi mengenai kejatuhan Adam di atas memiliki kesamaan dengan pandangan Paulus.  Namun yang membedakan pemikiran Yahudi dan Paulus terletak yaitu bahwa para penafsir Yahudi hanya melihat pada Adam yang jatuh sedangkan Paulus melihat pada Kristus yang memulihkan manusia. 
[14]Ibid.
[15]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 380.
[16]Leithart, “Adam, Moses, and Jesus.” 262-263.
[17]Ibid, 263.
[18]Ridderbos, Paulus 49.
[19]Leithart, “Adam, Moses, and Jesus” 263.
[20]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 380.
[21]Ibid, 381.
[22]Ridderbos, Paulus 49.
[23]Guthrie juga setuju bahwa Adam yang akhir sebenarnya adalah “manusia yang dibangkitkan.” (lih. Guthrie, Ibid.)
[24]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 381.
[25]R.G. Gruenler,  “The Last Adam” dalam Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell; Grand Rapids: Baker, 1996) 11.
[26]Guthrie, Ibid.
[27]Ibid.
[28]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 380.
[29]Paul Enns, Moody Handbook 2 134.
[30]Leithart, “Adam, Moses, and Jesus.” 257.
[31]Robert L. Wilken, “Exegesis and The History of Theology: Reflections on The Adam-Christ Typology in Cyril of Alexandria.”  Church History 35/2 (June, 1966) 143.
[32]Riderbos, Paulus 50.
[33]Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, Kehidupan Kristen  (Jakarta: Gunung Mulia, 1995) 307.