Entri Populer

Sunday, April 8, 2012

FOLLOWING JESUS: Pay the Cost (Matius 8:21-22)

Dalam sebuah acara penghiburan, ada seorang anak yang beragamakan Kristen.  Namun ayahnya yang meninggal itu adalah seorang yang masih belum percaya kepada Kristus, sehingga almarhum menggunakan upacara keagamaannya.  Pada waktu itu, ada seorang jemaat bertanya kepada saya demikian: “Pak, tahu gak semua anak-anaknya itu adalah orang Kristen, bukankah seorang yang sudah menjadi orang Kristen tidak boleh melakukan ritual - agama ayahnya - tersebut?”  Menurut Bapak bagaimana? Lalu jemaat yang lainnya juga mengatakan: “Memang sulit yah pak, kalau kita jadi anak itu dan tidak melakukan hal tersebut maka kita akan dianggap sebagai anak yang tidak berbakti, dan akhirnya akan terjadi perselisihan dalam keluarga.”
Kemudian dalam sebuah kelas katekisasi, seorang remaja mengatakan bahwa ia dipaksa oleh keluarganya untuk mengikuti ritual agama keluarga mereka yang bertentangan dengan iman kekristenan (seperti: sembahyang kepada nenek moyang).  Ia mengatakan bahwa, ia terpaksa melakukannya . . . dan ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa setelah orang yang memaksanya itu “tidak ada lagi,” ia akan membersihkan rumahnya dari ritual-ritual tersebut.
Menanggapi pertanyaan dan pernyataan tersebut, seringkali kasus-kasus praktis dalam kehidupan ini dapat menimbulkan dilema dalam iman kita.  Karena itu, ketika saya mendengarkan kisah-kisah tersebut saya kembali teringat dengan  sebuah bagian Firman Tuhan yang terambil dari Matius 8:21-22.  Melalui tulisan ini saya akan mengulas kembali mengenai maksud perkataan Tuhan Yesus dalam bagian ini.  Setelah itu saya akan memberikan implikasi (dampak) dan relevansi perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 8:21-22 dengan kisah di atas.  Kemudian di bagian akhir saya akan memberikan kesimpulan.

LATAR BELAKANG MATIUS 8:21-22
Pada perikop ini, jelas sekali bahwa Tuhan Yesus mengajarkan mengenai HARGA yang harus dibayar oleh orang-orang yang ingin mengikuti Dia.  Dengan kata lain, Tuhan Yesus ingin mengingatkan kembali para pembacanya mengenai PEMURIDAN yang SEJATI.  Melalui bagian ini, kita melihat ada seorang murid Tuhan Yesus - kemungkinan besar bukan salah satu dari kedua belas murid Tuhan Yesus, tapi seseorang dari sekumpulan besar orang-orang yang ingin mengikuti Tuhan Yesus[1] -  Seorang murid itu meminta kepada Tuhan Yesus untuk menguburkan ayahnya, baru setelah itu ia akan mengikuti-Nya.  Namun Tuhan Yesus mengatakan kepadanya, “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.”
Dalam kebudayaan Yahudi kuno, menguburkan seorang ayah merupakan suatu tugas keagamaan, sebab hukum Taurat pun mengajarkan kepada bangsa Israel untuk menghormati ayah dan ibu mereka (lih. Kel. 20:19).  Pada bagian ini,  kemungkinan besar murid ini bukan meminta ijin untuk pergi ke pemakaman ayahnya, tapi untuk berhenti mengikuti Tuhan Yesus sampai ayahnya meninggal.  Padahal Mungkin ia adalah seorang anak sulung dan menginginkan kepastian mengenai warisannya, atau mungkin juga ia tidak mau menghadapi kemarahan ayahnya bila ia meninggalkan usaha keluarga untuk mengikuti Tuhan Yesus dan menjadi pengkhotbah keliling.[2]   
Lagipula bila kita melihat dalam kebudayaan Yahudi, dalam menguburkan seorang ayah yang baru saja meninggal, orang itu harus ikut berpartisipasi selama enam hari perkabungan setelah kematian tersebut.  Bila kita melihat dari sudut pandang panggilan untuk pemuridan, hal ini menunjukkan adanya penundaan.[3]  Jadi di sini jelas sekali bahwa murid itu ingin menunda-nunda di dalam mengikuti Tuhan Yesus dan juga tidak mau membayar harga di dalam mengikutiNya. 
Hal ini terlihat jelas dari perkataannya dan Tuhan Yesus juga merasakan adanya keengganan dalam dirinya.  Makanya tidaklah mengherankan bila kita melihat sebuah reaksi negatif dari Tuhan Yesus yang mengatakan: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.”  Melalui kata Tuhan Yesus: “Ikutlah Aku . . .” Tuhan Yesus menantang muridNya untuk mempertimbangkan bahwa komitmennya harus sungguh-sungguh tanpa ada rasa keberatan.  Jika orang ini benar-benar menginginkan untuk mengikuti Yesus, maka ia tidak akan menunggu sampai  ia telah memenuhi seluruh tanggung jawab tradisinya.[4] 
Pada bagian ini Tuhan Yesus tidak menyarankan bahwa anak-anak mengabaikan tanggung jawabnya kepada orang tua.  Sebaliknya, Tuhan Yesus menguji loyalitas murid itu kepada Nya, sama seperti dalam tradisi Yahudi, di mana seorang imam besar dan orang-orang yang telah mengambil sumpah nazar diharuskan oleh hukum untuk menghindari mayat bahkan orang tua (lih. Im. 21:11; Bil. 6:6).  Bahkan ada ketetapan Yahudi yang mengatakan bahwa seorang mahasiswa tidak boleh berhenti belajar untuk mengubur orang mati.  Sebagai Anak Allah, Tuhan Yesus memiliki kapasitas untuk tidak segan-segan menuntut kesetiaan lengkap.  Bahkan loyalitas kepada keluarga tidak boleh mengambil prioritas dalam tuntutan ketaatan manusia terhadap diri-Nya.[5]          
Jadi, di sini kita melihat bahwa kewajiban kita sebagai anak, keamanan finansial, persetujuan keluarga atau sesuatu yang lain tidak boleh melebihi komitmen atau loyalitas kita terhadap Tuhan Yesus.  Dengan kata lain, Tuhan Yesus harus menjadi yang paling utama dari segala prioritas kehidupan kita.  A Follower of Jesus Christ had to pay any cost to following Him in their life.    

IMPLIKASI MATIUS 8:21-22 TERHADAP PEMURIDAN MASA KINI
      Murid Kristus sejati adalah murid yang bersedia untuk membayar harga di dalam mengikuti-Nya.  Bila dihubungkan dengan kisah di atas, sikap murid Kristus yang berani membayar harga adalah sikap yang non-kompromi dengan pandangan, ajaran, dan budaya dalam dunia ini.  Mengenai sikap non-kompromi ini, John Stott mengatakan dalam bukunya yang berjudul The Radical Discipleship,
gereja – atau orang percaya - memiliki tanggung jawab ganda dalam kaitannya dengan dunia sekitar kita.  Di satu sisi kita ada untuk hidup, melayani, dan bersaksi di tengah-tengah dunia ini.  Namun pada sisi yang lain kita menghindarkan diri agar tidak terkontaminasi oleh dunia ini.[6] 
Sebagai kaum orang percaya atau orang Kristen, kita dipanggil untuk dapat melihat batasan jelas itu,  sehingga kita tidak terjatuh ke dalam sikap melarikan diri dari dunia ini (eskapisme) atau terjatuh kedalam sikap kompromi sehingga kita menjadi sama dengan dunia ini (konformisme).  Ia juga menambahkan bahwa,
panggilan Allah adalah pemuridan yang radikal yakni non-konformitas yang radikal terhadap budaya yang ada di sekitar kita.  Ini adalah panggilan untuk menumbuhkan sebuah budaya alternatif (counter culture) Kristiani, sebuah panggilan untuk terlibat namun tidak berkompromi.”[7] 
Jadi, disini jelas sekali bahwa sebagai seorang murid, kita tidak terpisah dari dunia ini.  Namun dalam kehidupan di dunia ini, kita perlu memiliki pemikiran dan kehidupan yang berbeda dari dunia ini.  Karena itu, dalam kehidupan kita di dunia ini, kita harus menjadi murid-murid Kristus yang radikal yang tidak sama dengan dunia ini.  Seperti yang Tuhan Yesus katakan dalam Matius 6:8, “Janganlah kamu seperti mereka” dan Rasul Paulus katakan dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.”      
Bila prinsip non-kompromi ini dihubungkan dengan kisah diatas, jelas sekali bahwa dengan mengambil bagian dalam ritual agama yang bertentangan dengan iman Kristen, mereka telah mengambil sikap kompromi.  Akibatnya, orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah pengikut Kristus akan melihatnya mereka sebagai pengikut agama lain - saya sendiri juga baru menyadari bahwa mereka adalah orang Kristen karena ada yang memberitahukannya pada saya, bila tidak maka saya pun akan melihat mereka sebagai orang-orang non-kristen – sedangkan bagi orang yang tahu bahwa mereka adalah orang Kristen tentu saja akan menjadi batu sandungan.      
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sikap mereka yang melakukan kompromi terhadap budaya ataupun keinginan orang lain (orang tua) menunjukkan bahwa mereka bukanlah murid-murid Tuhan Yesus yang radikal yang mau membayar harga dalam mengikuti-Nya.    

KESIMPULAN

      Dalam kehidupan iman kita untuk menjadi murid Kristus yang sejati, banyak hal yang terlihat “abu-abu” atau tidak jelas.  Akibatnya, seringkali kita memikirkan dan mencari solusi yang tidak berdasarkan kepada prinsip Firman Tuhan, sehingga tidaklah mengherankan bila banyak orang Kristen yang mengambil sikap kompromi di dalam menyelesaikan permasalahannya.  Banyak orang Kristen yang akhirnya tidak mau membayar harga di dalam mengikuti Kristus.  Karena itu, biarlah tulisan ini dapat mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk menjadi murid Kristus yang sejati,  dan seorang murid Kristus yang sejati adalah seorang murid yang mau membayar harga untuk terus setia mengikuti-Nya.




[1]Donald A. Hagner, Matthew 1-13. WBC (Vol. 33a; Dallas: Word, 2002) 217.
[2] B. B. Barton, Matthew. LABC (Wheaton, Illinoise: Tyndale House Publishers, 1996) 160.
[3]Hagner, Matthew 1-13. WBC: 217.
[4]Barton, Matthew. LABC: 160.
[5]Ibid.
[6]John Stott, (Surabaya: Literatur Perkantas Jatim, 2010) 15.
[7]Ibid. 16-17

No comments:

Post a Comment