Entri Populer

Monday, March 14, 2011

REFLEKSI: Siapakah Sesamaku Manusia?? (Luk. 10:25-37)

        Siapakah sesamaku manusia?”  Pertanyaan ini diajukan oleh seorang ahli Taurat yang berusaha mencobai Tuhan Yesus dan membenarkan dirinya.  Sebenarnya orang ini (ahli Taurat) tahu betul siapa yang dimaksud dengan sesamanya manusia.  Namun menurut pemahamannya, yang dimaksud dengan sesama manusia adalah orang-orang yang terdekat dengan dirinya atau setidaknya orang-orang yang satu bangsa dengan dirinya (yaitu: sesama orang Yahudi).  Karena itulah, Tuhan Yesus menggunakan perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati ini.  Tujuannya adalah agar ahli Taurat itu dapat melihat bahwa yang dimaksud dengan sesama manusia itu lebih luas dari pemahamannya. 
            Berbeda dengan para pemuka agama (imam dan orang Lewi) yang seharusnya tahu bagaimana mengasihi sesamanya manusia karena mereka lebih “tahu” Firman Allah.  Namun  ternyata mereka tidak mempedulikan dan bahkan menghindari orang yang “sekarat” karena dirampok oleh para penyamun.  Orang Samaria yang dipandang sebelah mata dan juga dianggap sebagai musuh oleh orang Yahudi, ternyata pada bagian ini Tuhan Yesus menceritakan bahwa orang Samaria ini menolong orang Yahudi - yang seharusnya menjadi musuhnya - yang sekarat itu dengan totalitas yang begitu besar.  Dia membalut luka-lukanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, menaikkannya ke atas keledai tunggangannya, dan membawa ke tempat penginapan untuk merawatnya (ayt. 34).  Bahkan orang Samaria itu membayar biaya pengobatan sampai orang yang dirampok itu sembuh. 
            Kalau kita melihat apa yang dilakukan orang Samaria itu, sungguh dia melakukannya dengan totalitas yang begitu tinggi.  Namun yang menjadi pertanyaannya, kenapa orang Samaria itu mau repot-repot melakukannya? Bukankah yang ditolong itu adalah musuhnya? Orang Samaria itu melakukan semua itu karena dia tidak memiliki “batasan-batasan” mengenai siapa sesamanya.  Baginya, orang yang menderita dan membutuhkan pertolongan adalah sesamanya yang perlu ditolong.  Perbedaan ras, suku bangsa, ekonomi, golongan sosial, dan juga garis keluarga tidak menghalangi dirinya untuk manyatakan kasih Allah. 
Melalui orang Samaria yang baik hati ini, kita dapat belajar bagaimana seharusnya kita memandang dan mengasihi sesama kita.  Sebagai anak-anak Tuhan, seharusnya kita tidak membuat batasan-batasan di dalam menyatakan kasih Allah.  Perbedaan ras, kelas sosial, ekonomi dan apapun juga itu (termasuk musuh kita sekalipun), seharusnya tidak menjadi hambatan bagi kita untuk menyatakan kasih Allah.  Marilah kita belajar dari orang Samaria yang baik hati ini . . . milikilah belas kasihan kepada sesama kita . . . sehingga kita dapat menjadi berkat buat orang-orang yang ada disekitar kita.    
            Ketika kita melihat ke sekeliling kita, dan bertanya: “Tuhan, siapakah sesama manusia?”  Kita akan menemukan bahwa sesama kita bukan hanya orang-orang yang ada di dalam gereja, keluarga, teman pergaulan kita, teman satu suku dengan kita.  Tapi sesama kita adalah orang-orang yang dipandang hina dan yang dianggap sampah oleh dunia ini.  Anak-anak jalanan, pengemis, pengamen, orang yang terjatuh pada narkoba dan lain sebagainya.
            Seorang hamba Tuhan bercerita dalam khotbahnya mengenai kehidupan seorang anak jalanan yang dia asuh.  Kisah ini dimulai ketika ayah anak itu dihukum 20 tahun penjara karena telah membunuh orang.  Mendengar suaminya dipenjara, istrinya langsung pergi dari rumah, dan meninggalkan anaknya yang baru berusia 7 tahun ini sendirian.  Seorang anak yang masih kecil ini tidak tahu harus berbuat apa dan tidak tahu harus makan apa!!  Akhirnya anak ini mengumpulkan kantong plastik dan membuat sebuah atap untuk berteduh . . . anak ini pun tinggal di sebelah bak penampungan dekat penjara. 
Setiap pagi, anak ini bertemu dengan ayahnya melalui lubang gerbang penjara.  Melalui lubang itu, ayahnya berkata: “nak, hari ini kamu harus menghasilkan uang sekian besarnya, kalau kamu tidak bawa uang sesuai dengan apa yang bapa minta . . maka kamu jangan datang ke sini.”  Akhirnya anak ini pergi dan mengemis di pinggiran jalan . . . dia mengumpulkan uang sesuai dengan permintaan ayahnya.  Dia bercerita kepada hamba Tuhan ini bahwa uang yang dikumpulkannya tidak bisa dipakai untuk makan.  Mengapa? Sebab dia harus mengumpulkan sejumlah uang yang diminta oleh ayahnya.  Kalau tidak, maka dia tidak memiliki tempat tinggal lagi.  Anak ini telah dimanfaatkan oleh ayahnya . . . tapi ayahnya pun terpaksa melakukan hal itu karena ayahnya ini juga diperas oleh sipir penjara.  
Kebanyakan orang hanya melihat anak ini sebagai pengemis.  Bagi masyarakat modern, seorang pengemis, anak-anak terlantar, dan pengamen adalah “SAMPAH” kota yang harus dibersihkan.  Bagaimana cara pandang gereja dan umat Tuhan??  Apakah orang seperti anak ini adalah “SAMPAH DUNIA?” atau “SESAMA KITA?”  Bila kita memandang mereka sebagai SESAMA KITA, apa yang telah kita lakukan bagi mereka??? apakah kita peduli dengan mereka dan mau menolong mereka??? Setidaknya sudahkan gereja dan umat Tuhan memikirkan apa yang bisa kita perbuat bagi “SESAMA KITA” yang dipandang “SAMPAH” oleh dunia ini!!! 
Tuhan Yesus dalam kisah ini berkata: “Jadi, siapakah sesama manusia?”  Jawab ahli Taurat itu: “orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.”  Jadi, hanya orang yang memiliki dan menunjukkan belas kasihan Allah kepada sesamanya lah yang disebut dengan SESAMA.  Tuhan Yesus menutup percakapan ini dengan berkata: “Pergilah dan perbuatlah demikian.”  Maksudnya adalah jangan kita terus mempertanyakan mengenai siapakah sesama manusia . . . tapi PERGI dan NYATAKAN lah belas kasihan itu kepada orang-orang yang ada disekitar kita.  Baik itu keluarga kita . . . teman-teman kita . . . sanak saudara kita . . . bahkan orang yang dianggap sebagai MUSUH dan juga SAMPAH DUNIA.  Kiranya Tuhan memakai gereja Tuhan dan umat-Nya untuk menyatakan belas kasihan Tuhan kepada sesama kita.

Tuesday, March 8, 2011

Pandangan Rasul Paulus mengenai Adam dan Kristus

    Pemikiran Paulus mengenai tipologi Adam dan Kristus merupakan suatu hal yang penting dalam doktrin kekristenan.  Walaupun kita tidak dapat menganggap tema Adam sebagai pusat dari teologi Paulus, namun tema ini memainkan peranan yang cukup penting dalam kristologinya.[1]  Bahkan dalam perkembangan teologi Barat, kita akan menemukan bahwa pemikiran Paulus mengenai Adam dan Kristus ini sangat  mempengaruhi teologi-teologi Barat.  Misalnya saja, seorang bapa gereja mula-mula yang bernama Agustinus merumuskan doktrin dosa asal-nya berdasarkan pada kejatuhan Adam ke dalam dosa.[2]  Yang di kemudian hari pemikiran Agustinus tersebut mempengaruhi para reformator dalam memandang Adam dan Kristus.  Di mana Adam membawa dosa ke tengah manusia dalam satu waktu dalam sejarah dan Kristus menebus manusia dalam waktu lain dalam sejarah.[3]  Oleh karena itulah, kita menemukan urutan dasar dari covenant theology[4] Reformed didasarkan pada analogi Adam dan Kristus.[5]  
            Selain Agustinus, bapa gereja yang bernama Cyril pun mengatakan, “. . . the Adam-Christ typology plays an even more decisive role, for it is both a key theological concept . . .”[6]  Jadi bagi Cyril, tipologi Adam dan Kristus merupakan hal yang paling penting dalam teologi.  Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis akan kembali menguraikan peranan Adam dan Kristus dalam teologi Kristen, khususnya teologi evangelical
Sistematika penulisan pada makalah ini adalah sebagai berikut: Pertama-tama, penulis akan memberikan latar belakang dari pemikiran Paulus mengenai konsep Adam dan Kristus.  Melalui latar belakang ini penulis ingin menjawab pertanyaan, apakah pemikiran Paulus mengenai Adam dan Kristus tersebut dipengaruhi oleh pemikiran Yunani atau Yahudi? Mengapa Paulus menggunakan gambaran Adam dan Kristus?  Kedua, penulis akan menguraikan ayat-ayat Alkitab yang membahas Adam dan Kristus.  Melalui penguraian dan interaksi dalam bagian ini, penulis berharap akan menemukan makna dari perkataan Paulus mengenai Adam dan Kristus.  Setelah itu, penulis akan menutup tulisan ini dengan memberikan beberapa implikasi dari pemikiran Paulus terhadap pengajaran-pengajaran Kristen.   

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN PAULUS MENGENAI ADAM DAN KRISTUS.
            Pengertian kita terhadap surat-surat Paulus mengenai Adam dengan jelas akan dipengaruhi oleh pendapat kita mengenai sejauh mana pemikiran Yunani atau Yahudi mempengaruhi Paulus.  Beberapa penafsir dari aliran sejarah agama-agama berpendapat bahwa Paulus dipengaruhi oleh gagasan gnostik Urmensch.  Gagasan ini menyatakan adanya suatu makhluk mitos yang mulia, yang dipercayai sebagai tokoh penyelamat.[7]  Di mana manusia primal atau Urmensch tersebut turun dari surga untuk melepaskan manusia dari perhambaan dunia materi dan membawanya kembali ke kawasan terang dan hidup.[8]  Jadi, Urmensch diduga mengandung semua jiwa di dalam dirinya, semacam Adam yang ideal.[9]  Namun referensi Paulus tentang Kristus sebagai manusia dari surga tidak merefleksikan ide kecenderungan seperti itu, dan dapat dijelaskan berdasarkan latar belakang Adam dan Anak Manusia eskatologis.[10] 
Beberapa penafsir melihat gagasan-gagasan ini terdapat di belakang pengajaran Yahudi tentang Adam; karena fungsi menyelamatkan dihubungkan dengannya, ia dikatakan sebagai bayangan Mesias penyelamat yang akan datang.  Namun tampaknya bukti-bukti yang ada tidak mendukung adanya hubungan Adam dengan Mesias.  Jadi pandangan teologi Yahudi berhubungan dengan mitos Urmencsh perlu dikesampingkan.[11]  Jadi kesimpulannya adalah bahwa pemikiran Paulus mengenai Adam sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yahudi. 
Namun pendekatan Paulus ini juga berbeda dengan para penafsir Yahudi.  Paulus memandang Adam hanya sebagai lambang dari manusia yang sudah jatuh dan tidak berspekulasi tentang kemuliaan sebelumnya.[12]  Sedangkan para penafsir Yahudi asyik menggambarkan keadaan Adam untuk memperlihatkan betapa dalamnya Adam telah jatuh.[13]  Adam dipandang sebagai bapa leluhur yang pertama, sebagai raja dunia, dan sebagai hikmat.  Kedudukan Adam yang penting dalam teologi para rabi tidak dapat disangkal.  Hal yang paling penting dalam pengajaran mereka mengenai Adam adalah keasyikan mereka dengan status Adam sebelum ia jatuh dalam dosa, dan bukan keadaannya sesudah itu.  Karena itu, pengharapan orang-orang Yahudi terletak pada kepercayaan bahwa kelak akan ada pemulihan kemuliaan manusia seperti sebelumnya.[14]
             
PANDANGAN PAULUS MENGENAI ADAM DAN KRISTUS.
            Pandangan Paulus mengenai Adam dan Kristus dapat dilihat dalam dua perikop utama yang membahas tema ini, yaitu Roma 5:12-21 dan 1 Korintus 15.  Melalui bagian ini,  penulis akan menguraikan bukti-bukti alkitabiah dari pemikiran Paulus mengenai Adam dan Kristus.

ROMA 5:12-21
            Roma 5:12-21 tidak menguraikan sifat Kristus dengan memakai tema Adam.  Tujuan utama dari teks ini adalah Paulus ingin menerangkan penyelamatan manusia dan bagaimana datangnya penyelamatan itu, sehingga pada bagian ini tema Adam dinomorduakan.  Pemikiran Paulus dalam Roma 5:12-21 ini sesuai dengan kepercayaan orang Yahudi yang mempercayai bahwa dosa masuk melalui Adam dan menjalar kepada semua orang, yang mengakibatkan kematian bagi semua orang.[15]  Dalam menggambarkan Adam dan Kristus, Paulus menggunakan pola struktur kiastik dalam Roma 5:12-21:[16]
A.  Dosa masuk ke dalam dunia dan kematian karena dosa (v.12)
B.  Dosa ada dalam dunia sebelum hukum Taurat, namun dosa tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum taurat (v.13)
C.  Pemberontakan Adam vs kasih karunia (v.14-16)
D. Kuasa maut/berkuasa atas hidup (v.17)
C′. Pemberontakan vs perbuatan benar/ketaatan (v.18-19)
B′. Hukum Taurat hadir (v.20)
A′. Dosa dan kematian: kebenaran dan hidup (v.21)
Dalam pola kiastik tersebut, bagian pusat dari struktur di atas menunjuk kepada adanya pemindahan otoritas dari kematian kepada hidup bagi mereka yang menerima anugerah dan pemberian atas kebenaran.[17]  Riddderbos mengatakan:
Seperti Adam adalah dia yang melaluinya dosa masuk ke dalam dunia dan melalui dosa masuklah kematian, demikianlah Kristus adalah Dia yang memberikan hidup dan kebenaran.  Kristus dan Adam berdiri sebagai wakil agung dari dua aeon, yaitu kehidupan dan kematian.  Dalam pengertian itu, sebagai wakil dua dispensasi dan dua umat manusia, Adam bisa disebut sebagai “gambaran Dia yang akan datang” (ay. 14), yaitu manusia kedua dan aeon yang akan datang, di mana Adam adalah gambaran-Nya.  Seperti Adam membawa dosa dan maut ke dalam dunia, Kristus dalam ketaatan-Nya (yaitu oleh kematian-Nya) dan kebangkitan-Nya, membawa hidup bagi kemanusiaan baru.[18]

Jadi kesimpulan dari Roma 5:12-21 yaitu apa yang Adam hilangkan diperoleh kembali oleh Kristus.  Di mana tujuan Yesus membalikkan dosa Adam adalah untuk mengembalikan umat manusia kembali kepada pemenuhan dari jabatan Adam, yaitu kembali kepada tahta penciptaan.[19]  Melalui Dia (Kristus), permulaan yang baru diadakan untuk manusia.  Di mana Kristus menjadi Kepala dari manusia baru, sebagaimana Adam menjadi kepala dari manusia yang lama.[20] 

1 KORINTUS 15
            Dalam 1 Korintus 15:22, Paulus mengkontraskan Adam dengan Kristus.  Dalam ayat ini, Paulus dengan sangat jelas memperlihatkan keunggulan Kristus yang lebih tinggi daripada Adam.  Menurut Paulus, Adam merupakan manusia kematian, tetapi Kristus adalah manusia yang mempunyai kuasa untuk memberikan hidup.  Dalam 1 Korintus 15:45 kontras ini diberikan dalam istilah yang agak berbeda, yaitu Kristus secara khusus disebut sebagai “Adam yang akhir.”  Di sini perbedaannya ialah antara Adam, manusia pertama sebagai “makhluk yang hidup” (psukhikon) dan Adam yang akhir yaitu Kristus sebagai “roh pemberi hidup” (pneumatikon).[21] 
Ridderbos menafsirkan “Adam yang akhir” ini sebagai berikut:
Sebutan “Adam yang akhir” ini merupakan sebutan khas dari aspek eskatologis pengajaran Paulus: Kristus dinyatakan sebagai Pembuka Jalan bagi kemanusiaan yang baru, dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati juga yang membuatnya menjadi “Adam yang akhir” . . . . Di mana Kristus sebagai manusia kedua dan Adam yang akhir adalah Dia yang dalam kebangkitan-Nya, hidup baru dari ciptaan baru telah datang dan telah menjadi realitas. . . .”[22]

Jadi Ridderbos menafsirkan “Adam yang akhir” ini dari pemikiran eskatologis Paulus, khususnya kebangkitan Kristus.[23]  Namun Guthrie menambahkan, yang penting mengenai pribadi Kristus ialah kontras antara Adam yang pertama dan yang akhir.  Di mana apa yang sebetulnya diharapkan dari Adam pertama direalisasikan oleh Adam yang akhir.  Lebih dari itu, Adam yang akhir, sebagai manusia yang sempurna, merupakan “pengantara dari kemanusiaan sejati.”  Namun yang perlu diingat juga adalah bahwa Adam yang akhir  ini “berasal dari sorga,” dan hal ini tidak pernah dilupakan oleh Paulus.[24]  
Perbandingan Adam dan Kristus dalam 1 Korintus 15 ini semakin memuncak pada ayat 46-49, di mana Paulus menggambarkan perbedaan Adam dan Kristus sebagai berikut.[25]   
Adam Pertama
Adam Kedua
46: “alamiah”
47: “manusia pertama”
“dari debu tanah dan bersifat jasmani”
48: “makhluk-makhluk alamiah sama
dengan dia yang berasal dari debu
tanah”
49: “sama seperti kita telah memakai rupa
dari yang alamiah.”
“rohaniah”
“manusia kedua”
“dari surga”
“makhluk-makhluk sorgawi sama dengan
Dia yang berasal dari sorga.”

“kita akan memakai rupa dari yang
 surgawi”
Perbandingan di atas menempatkan Adam kedua pada perspektif yang benar, yaitu walaupun Kristus memiliki kemanusiaan yang lain dengan Adam, namun Kristus tetap manusia sejati.  Malah kita harus berpikir tentang Adam yang akhir sebagai wakil yang sempurna dari manusia.[26]   Pada bagian ini Paulus tidak berpikir tentang Adam yang akhir sebagai pelopor suatu bangsa baru sebagaimana Adam yang pertama merupakan pelopor manusia yang sudah jatuh.  Sebab bila kita mengira bahwa Adam yang akhir mempelopori bangsa yang baru, maka hal ini akan mengaburkan hubungan yang penting antara manusia yang jatuh dan manusia yang diselamatkan.[27]

KESIMPULAN
            Tujuan Paulus dengan menggunakan tipologi Adam dan Kristus adalah untuk menunjukkan Kristus yang lebih unggul daripada Adam.  Di mana melalui Yesus semua manusia yang percaya kepada-Nya kembali kepada pemenuhan dari jabatan Adam mula-mula, yaitu kembali kepada tahta penciptaan.  Di dalam Yesus lah permulaan yang baru diadakan bagi orang percaya, di mana Yesus menjadi Kepala dari manusia baru, sebagaimana Adam menjadi kepala dari manusia yang lama. 

IMPLIKASI 
            Beberapa implikasi dari pemikiran Paulus mengenai Adam dan Kristus adalah sebagai berikut:
            Pertama, berkaitan dengan doktrin manusia dan dosa.  Kalangan evangelical percaya bahwa dosa masuk melalui Adam dan melalui dia menjalar kepada semua orang, dan dosa Adam mengakibatkan kematian bagi semua orang.[28]  Namun paham Armenian menyangkali adanya imputasi dari dosa.  Menurut mereka tidak ada manusia yang dihukum secara kekal karena dosa asal, manusia dihukum karena dosanya sendiri.  Pandangan kaum Armenian ini bertentangan dengan apa yang dinyatakan dalam Roma 5:12-21.[29]  Leithart dengan tegas mengatakan, “when sin is not imputed it is because sin does not exist.”[30]  Keberadaan dosa dan maut ini menunjukkan bahwa semua manusia berdosa dan harus menanggung konsekuensi dari pemberontakan Adam.  Namun seperti dosa yang diimputasikan kepada manusia, maka kebenaran juga akan diimputasikan bagi setiap orang yang percaya kepada Kristus (Rm. 5:18-19).   
            Kedua, berkaitan dengan doktrin keselamatan.  Seperti yang telah dipaparkan di atas, pelanggaran Adam telah mengakibatkan seluruh manusia berdosa dan ada di bawah kuasa maut (Rm. 5: 15,17 ; 1 Kor. 15:21-22,26).  Namun ketaatan Kristus membuat kasih karunia Allah melimpah atas banyak orang dan memberikan hidup bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.  Pusey mengatakan, “we have been condemned to death because of the transgression of Adam, the whole human nature suffering this in him. . . For he was first of the race, but in Christ we bloom again to life.”[31]  Memang benar bahwa dosa Adam mengakibatkan penghakiman dan penghukuman bagi seluruh manusia, tetapi karya Kristus di atas kayu salib menghasilkan pembenaran bagi setiap orang yang mau datang kepada-Nya.  Hal ini menunjukkan bahwa hanya di dalam diri Yesus sajalah, maka setiap orang berdosa yang percaya kepada-Nya akan dibenarkan dan diberikan hidup kekal.
            Ketiga, berkaitan dengan doktrin Kristologi.  Dalam sepanjang sejarah kejatuhan manusia, kita telah melihat bahwa Allah telah memberikan anugerah perjanjiannya bagi umat manusia.  Hal ini dapat kita lihat, ketika Allah berinisiatif membuat perjanjian dengan Adam, Nuh, Abraham, Musa, dan Daud.  Namun perjanjian tersebut gagal dilakukan oleh bangsa Israel.  Akhirnya Allah mengutus Anak-Nya yaitu Yesus Kristus untuk menggenapi perjanjian Allah di dalam karya penebusan-Nya.  Melalui Yesus dan karya penebusan-Nya, maka semua aeon yang sekarang kehilangan kekuatannya dan aeon yang baru telah tiba.  Ridderbos mengatakan, “dalam kematian dan kebangkitan Kristus, rahasia rencana penebusan Allah menyatakan diri dalam karakter sejatinya dan ciptaan baru telah datang.”[32]
Keempat, dalam kehidupan kekristenan kita.  Kejatuhan Adam membawa seluruh manusia berada dalam garis yang lama (aeon lama) yaitu garis kejatuhan.  Namun melalui Kristus, setiap orang yang percaya telah berpindah dari garis yang lama (aeon lama) kepada garis yang baru (aeon baru) yaitu garis yang membawa pada hidup dan kebenaran.  Oleh karena itu, setiap orang-orang percaya yang berada dalam garis yang baru (aeon baru), maka tentu saja kehidupan orang-orang percaya harus mencerminkan kehidupan yang berbeda dari garis yang lama (aeon lama).  Dengan kata lain, kehidupan orang-orang percaya harus mencerminkan Kristus sebagai Kepala dari aeon baru itu.
Seperti kemanusiaan yang lama ada “di dalam Adam,” maka ciptaan baru ada “di dalam Kristus.”  Sampai Kristus datang, semua manusia terkena akibat yang tidak menyenangkan dari pelanggaran Adam dan hanya suatu ciptaan barulah yang memungkinkan keluputan dari akibat-akibat yang melumpuhkan ini.[33]



[1]Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I: Allah, Manusia, dan Kristus (Jakarta: Gunung Mulia, 1995) 377.
[2]Agustinus merumuskan doktrin dosa asalnya berdasarkan Roma 5:12-21.  (Peter J. Leithart, “Adam, Moses, and Jesus: A Reading of Romans 5:12-14.” Calvin Theological Journal 43/2 [November, 2008] 257)
[3]Paul Enns, The Moody Handbook of Theology 1 (Malang: SAAT, 2004) 380.
[4]Teologi kovenan mengajarkan bahwa Allah secara inisial membuat kovenan kerja dengan Adam, menjanjikan hidup yang kekal bagi yang taat dan kematian bagi mereka yang tidak taat.  Adam gagal, dan kematian memasuki kehidupan umat manusia.  Namun Allah bertindak untuk menyelesaikan dilema manusia dengan memberikan kovenan anugerah, di mana melaluinya masalah dosa dan kematian dapat diselesaikan.  Kristus adalah mediator terakhir dari kovenan anugerah Allah.  (Paul Enns, The Moody Handbook of Theology 2 [Malang: SAAT, 2004] 139).
[5]Leithart, “Adam, Moses, and Jesus” 257.
[6]Robert L. Wilken, “Exegesis and The History of Theology: Reflections on The Adam-Christ Typology in Cyril of Alexandria.”  Church History 35/2 (June, 1966) 139.
[7]Menurut aliran tersebut, gagasan ini terdapat dalam banyak agama, dan kepercayaan ini, yang tersebar luas, dianggap merupakan salah satu dasar dari Kristologi Paulus.  Tetapi pendapat ini didasari oleh penyelidikan yang begitu luas mengenai bahan-bahan yang bermacam-macam tanpa memperhatikan penanggalan, sehingga metodologi teori apa pun yang berdasarkan bahan-bahan itu harus di curigai (lih. Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 378.)
[8]George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru 2 (Bandung: Kalam Hidup, 1993) 165.
[9]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 378.
[10]Ladd, Teologi Perjanjian Baru 166.
[11]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 378.
[12]Baik Paulus maupun orang-orang sezamannya yakin bahwa Adam merupakan alat agar dosa dapat memasuki dunia (Ibid).
[13]Pandangan Yahudi tentang Adam dapat diringkaskan sebagai berikut: Pertama, dosa Adam dikatakan sebagai ketidaktaatan pada Taurat; Kedua, sebagai akibat dosa, Adam kehilangan kemuliaannya semula, kekekalannya, ketinggiannya, buah dari bumi, buah dari pohon-pohonan, dan terang-terang dunia; Ketiga, dosa Adam membawa kematian bagi seluruh umat manusia sebagai akibat dari keputusan ilahi; Keempat, bumi dihukum karena dosa Adam; Kelima, dosa mengakibatkan pemutusan hubungan Adam dengan Allah (Ibid. 378-379).  Pandangan Yahudi mengenai kejatuhan Adam di atas memiliki kesamaan dengan pandangan Paulus.  Namun yang membedakan pemikiran Yahudi dan Paulus terletak yaitu bahwa para penafsir Yahudi hanya melihat pada Adam yang jatuh sedangkan Paulus melihat pada Kristus yang memulihkan manusia. 
[14]Ibid.
[15]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 380.
[16]Leithart, “Adam, Moses, and Jesus.” 262-263.
[17]Ibid, 263.
[18]Ridderbos, Paulus 49.
[19]Leithart, “Adam, Moses, and Jesus” 263.
[20]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 380.
[21]Ibid, 381.
[22]Ridderbos, Paulus 49.
[23]Guthrie juga setuju bahwa Adam yang akhir sebenarnya adalah “manusia yang dibangkitkan.” (lih. Guthrie, Ibid.)
[24]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 381.
[25]R.G. Gruenler,  “The Last Adam” dalam Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell; Grand Rapids: Baker, 1996) 11.
[26]Guthrie, Ibid.
[27]Ibid.
[28]Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 380.
[29]Paul Enns, Moody Handbook 2 134.
[30]Leithart, “Adam, Moses, and Jesus.” 257.
[31]Robert L. Wilken, “Exegesis and The History of Theology: Reflections on The Adam-Christ Typology in Cyril of Alexandria.”  Church History 35/2 (June, 1966) 143.
[32]Riderbos, Paulus 50.
[33]Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, Kehidupan Kristen  (Jakarta: Gunung Mulia, 1995) 307.

Saturday, March 5, 2011

PERENUNGAN YANG "BELUM" TERJAWAB


Hari Minggu (27 Februari 2011), saya dan teman saya pergi ke Ciwalk (Cihampelas Walk).  Ketika kami berkeliling mall itu, tiba-tiba teman saya mengusulkan untuk mencoba makan di Blind Cafe yang masih terletak di kawasan Ciwalk.  Cafe ini menawarkan sebuah sensasi makan di tengah kegelapan, karena itu HP dan semua barang elektronik yang bisa menyala harus dititipkan di locker.  Setelah semua barang elektronik dititipkan, kemudian kami dituntun oleh salah satu pegawai tunanetra.  Di tengah kegelapan yang begitu pekat, kami berjalan dengan penuh kehati-hatian, sambil dituntun oleh pemandu tunanetra tersebut. 
Kebetulan sekali, pada malam itu, hanya kami berdua yang makan di cafe itu.  Sehingga suasana cafe begitu sepi, namun demikian kami ditemani oleh pegawai tuna netra tersebut.  Akhirnya kami berkenalan dan berbincang-bincang, mulai dari keluarga . . . pekerjaan . . . dan agama.  Kesempatan ini pun akhirnya digunakan oleh teman saya untuk memberitakan Injil kepada pegawai tunanetra ini.  Dia menceritakan bahwa Yesus datang ke dalam dunia ini supaya orang yang tinggal dalam kegelapan dapat melihat terang.  Tuhan Yesus membawa tali keselamatan, sehingga manusia yang berada dalam jurang dosa, dapat naik ke atas dan melihat terang kemuliaan Kerajaan Surga.  Di dalam Kristus lah, manusia memiliki jaminan keselamatan hidup kekal. 
Teman saya ini terus menceritakan Kristus dan mendorong pegawai ini untuk percaya kepada Kristus.  Mungkin merasa “gerah” dan “terancam” dengan pemberitaan Injil yang disampaikan oleh teman saya ini,  pegawai tunanetra itu akhirnya menolak dengan tegas.  Dia berkata: “Maaf, saya punya tali keselamatan sendiri.”  Kemudian teman saya pun hanya berkata: “Pak, tolong didoakan saja yah.”
Masih dengan topik yang sama yaitu PENGINJILAN, namun dengan kisah yang berbeda.  Hari ini, saya ditelepon oleh salah seorang jemaat saya. Dia menceritakan mengenai seorang jemaat lain yang suka membagi-bagikan traktat, dan memberikan artikel mengenai perbedaan kekristenan dengan agama lain.  Dengan penuh semangat 45, jemaat ini membagi-bagikan kepada lingkungan sekitar gereja.  Namun beberapa waktu kemudian, masyarakat di sana mulai resah dan mengatakan kepada pihak gereja kalau mereka akan memukul jemaat tersebut.  Mereka menolak sebab mereka telah memiliki kepercayaan masing-masing . . . mereka seolah-olah berkata dengan tegas: “jangan ganggu saya dan agama saya . . . urus saja diri kamu dan agama kamu sendiri.” 
Kedua peristiwa di atas, membuat saya bertanya-tanya, apakah model penginjilan yang “jadul” itu masih relevan diterapkan pada zaman posmo ini??  Bagaimana dalam zaman posmo yang “campur aduk” ini kita bisa meyakinkan mereka bahwa Kristus adalah satu-satunya “jalan keselamatan??”  Apalagi di era “kebebasan beragama” yang memiliki semangat “saling menghargai,” injil yang kita beritakan pasti akan mengganggu kenyamanan dari kepercayaan mereka.  Apakah ada cara yang relevan dalam zaman ini sehingga Injil mengenai Kristus Yesus itu dapat tetap kita beritakan??? Atau kita tetap bertahan dengan model PENGINJILAN lama yang tembak sana . . . tembak sini . . . tanpa ada sasaran yang jelas??  Padahal dalam  1 Korintus 9:26, Rasul Paulus sendiri berkata: "sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul."  
Saya hanya kuatir bila model penginjilan yang "serampangan" masih kita lakukan, jangan-jangan kita dianggap sebagai kalangan “ekstrimis” sehingga peristiwa yang terjadi di TEMANGGUNG akan terulang kembali di kota yang lain.  Bahkan ironisnya, Kristus yang mulia yang kita beritakan hanya akan menjadi bahan olokan saja.    

MONGGO DIKOMENTARI dan DIBERI MASUKAN SAUDARA-SAUDARA J

REFLEKSI: ROMA 10:14-15


Pagi-pagi benar, pada hari Minggu (27 Februari 2011), seorang jemaat dari Sorong menghubungi saya untuk memberitahukan bahwa suami dari salah seorang majelis mengalami kecelakaan dan tidak sadarkan diri.  Mendengar hal itu saya langsung berdoa agar tidak ada satu pun yang buruk terjadi.  Satu jam kemudian, saya menghubungi majelis itu dan menanyakan keadaan dari suaminya yang kecelakaan.  Baru saja saya berkata: “Halo,” ibu itu langsung menangis dan berkata bahwa suaminya tidak dapat diselamatkan (meninggal dunia).  Bak di sambar petir saya mendengarkan berita itu.

Padahal masih teringat sekali bahwa minggu yang lalu (20 Februari 2011), ibu itu menghubungi saya untuk terus mendukungnya di dalam doa agar suaminya dapat kembali beribadah ke gereja.  Dia bergumul sekali akan hal ini, sebab sudah 3 bulan belakangan ini, setiap hari Sabtu malam, suaminya tidak pulang ke rumah.  Tapi ibu ini tidak putus asa mengingatkan agar suaminya datang beribadah melalui SMS.  Suaminya pun mengiyakan, tapi tidak pernah datang ke gereja dan pulang ke rumah.  Padahal, pihak gereja memiliki rencana untuk mengunjungi suaminya pada tanggal 3 Maret 2011.  Saudara-saudara, manusia bisa saja berencana . . . tapi tidak ada yang bisa menghalangi rencana Tuhan.

Pada malam itu, suaminya pergi seperti biasanya . . . tapi dalam perjalanan dirinya mengalami kecelakaan.  Menurut kabar yang tersiar, katanya sih suaminya masih dapat berdiri setelah kecelakaan . . . tapi ada orang yang memukulnya dari belakang dengan benda keras, akhirnya suami ibu ini tidak sadarkan diri yang berujung pada kematian.

Mendengar peristiwa ini, saya kembali disadarkan mengenai “misteri kehidupan.”  Tidak ada seorang pun dalam dunia ini yang tahu kapan dia akan dipanggil Tuhan dan betapa singkatnya hidup ini.  Namun demikian, saya juga kembali diingatkan betapa berbahagianya kita sebagai orang-orang percaya yang memiliki kepastian di dalam Kristus.  Sehingga kapan pun kita dipanggil Tuhan, kita tetap memiliki jaminan keselamatan yang kekal itu. 

Walaupun kita memiliki jaminan kekal itu, hal ini bukan berarti bahwa kita (sebagai orang percaya) menjadi orang-orang egois yang tidak peduli dengan orang lain yang belum percaya kepada Kristus.  Kita dipanggil untuk memberitakan Kristus sehingga “barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan” (Rm. 10:13).  Namun Rasul Paulus mengingatkan dalam Roma 10:14-15,
“bagaimana mereka dapat BERSERU kepada-Nya . . . jika mereka tidak PERCAYA kepada Dia.”
“bagaimana mereka dapat PERCAYA kepada-Nya . . . jika mereka tidak MENDENGAR tentang Dia.”
“bagaimana mereka dapat MENDENGAR tentang Dia . . . jika tidak ada yang MEMBERITAKAN-NYA.”
“bagaimana mereka dapat MEMBERITAKAN-NYA . . . jika mereka tidak DIUTUS.”

Jadi melalui bagian ini, Rasul Paulus ingin mengatakan kepada jemaat Roma bahwa  mereka telah DIUTUS untuk pergi memberitakan Injil.  Jika mereka tidak pergi, maka tidak akan ada yang MEMBERITAKAN, tidak ada yang MENDENGAR Kristus, tidak ada yang PERCAYA kepada-Nya, dan tidak ada yang BERSERU kepada-Nya.  Jika tidak ada yang BERSERU kepada-Nya maka tidak ada yang DISELAMATKAN.

Karena itu saudara-saudaraku, mengingat hidup itu penuh dengan misteri dan tidak ada seorang pun yang tahu kapan akan meninggalkan dunia ini . . . marilah kita menjadi utusan Allah yang setia yang mau PERGI untuk memberitakan Injil di mana pun kita berada, sehingga banyak orang yang berseru kepada nama Tuhan, dan diselamatkan.  Amin.

Friday, March 4, 2011

Pandangan Mengenai Bumi Baru



Dalam sebuah buku Teologi Sistematika dikatakan bahwa “Setelah keadaan kekal dimulai maka akan ada bumi baru.”[1] Yang menjadi perenungan dan pertanyaan penulis ketika melihat tulisan ini adalah apa yang dimaksud dengan bumi baru? Apakah yang dimaksud bumi baru disini memiliki pengertian bahwa bumi yang kita kenal sekarang ini akan dimusnahkan (seperti yang film-film gambarkan dan pengertian penulis selama ini), dan kemudian Allah akan mengganti bumi yang lama ini dengan bumi baru yang berbeda dengan bumi sekarang?[2] Atau bumi ini akan dipulihkan oleh Allah? Terus apakah yang di maksud bumi baru ini adalah surga? Lalu apa signifikansinya bagi orang percaya mengenai doktrin bumi yang baru ini? Inilah beberapa pertanyaan yang penulis dapatkan dalam perenungan mengenai bumi yang baru.
Melalui tulisan ini penulis berusaha untuk menjawab keingintahuan penulis mengenai tema yang menarik yang jarang sekali dibahas oleh para teolog maupun ahli-ahli sistematika.[3] Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis akan menguraikan pengertian bumi yang baru menurut para ahli sistematika maupun teolog. Setelah itu penulis juga akan membahas tentang bumi yang baru dengan surga. Lalu sebelum di tarik kesimpulan dari tulisan ini, penulis ingin memaparkan tentang pentingnya doktrin ini bagi iman Kristen dan juga implikasi doktrin ini bagi orang-orang percaya.

PENGERTIAN BUMI YANG BARU.
Menurut Henry C. Thiessen, kata “baru” di sini tidak perlu berarti baru dalam arti mutlak, sebab bumi akan seterusnya ada (Mazmur 104:5; 119:90; Pkh 1:4). Ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang bumi yang akan berlalu (Mat 5:18; Mrk 13:31; Ibr 1:10-13; dan Why 21:1) tidaklah berarti bahwa kata “berlalu” di sini memiliki pengertian menjadi tidak ada, tetapi berlalu di sini adalah berubah. Bumi dan langit tidak akan dimusnahkan, melainkan akan disucikan (2 Pet 3:10-13).[4]
Anthony A. Hoekema juga memiliki pandangan yang sama dengan Thiessen. Bahkan dalam bukunya yang berjudul “Alkitab dan Akhir Zaman”, dia memberikan empat alasan untuk menolak konsep penghancuran total dan memegang konsep pembaruan bumi. Ke empat alasan yang dia uraikan adalah sebagai berikut:[5]
1. Dalam 2 Petrus 3:13 dan Wahyu 21:1, kata Yunani “yang baru” yang dipakai untuk menggambarkan kosmos yang baru bukan neos, tetapi kainos yang memiliki pengertian baru dalam natur atau kualitas. Jadi kata “baru” di sini bukan menunjuk pada hadirnya sebuah kosmos yang berbeda dari sekarang melainkan penciptaan ulang alam semesta yang meskipun bersifat mulia, namun tetap merupakan kelanjutan dari bumi yang lama.
2. Dalam Roma 8, Paulus berbicara tentang seluruh makhluk yang sangat rindu menantikan penyataan Anak Allah sehingga mereka dapat dibebaskan dari perbudakan yang membawa kehancuran (ay. 20-21), ia berkata ciptaan yang sekarang inilah yang akan dibebaskan dari segala penderitaan, bukan ciptaan yang sama sekali baru.
3. Analogi antara bumi baru dan kebangkitan tubuh orang-orang percaya. Perbedaan antara tubuh kita saat ini dan tubuh kebangkitan, yang sekalipun sangat mulia, namun tidak meniadakan kesinambungan di antara keduanya: kita yang akan dibangkitkan dan kita pula yang akan hidup bersama-sama dengan Tuhan. Mereka yang dibangkitkan karena Kristus bukanlah satu sosok manusia yang sama sekali baru, melainkan umat Allah yang sebelumnya pernah hidup di bumi ini. Demikian juga dengan bumi yang baru, bukanlah bumi yang sama sekali berbeda dari bumi saat ini, melainkan bumi lama yang akan secara ajaib diperbarui.
4. Jika Allah menghapuskan seluruh kosmos yang ada sekarang ini, maka Iblis akan meraih kemenangan yang besar. Sebab hal itu berarti bahwa Iblis berhasil mencemari kosmos dan bumi yang sekarang ini, sehingga Allah tidak dapat berbuat apa-apa selain memusnahkannya.
Jadi jelas sekali melalui penjelasan dan alasan diatas, yang dimaksud dengan bumi yang baru ini bukanlah sebuah alam ciptaan yang baru, melainkan ciptaan yang ada sekarang ini diperbaharui dan dimurnikan. Dengan kata lain, Allah tidak akan memusnahkan bumi yang lama tapi memulihkan bumi yang lama kembali kepada natur penciptaan mula-mula.

APAKAH SURGA SAMA DENGAN BUMI YANG BARU?
Setiap orang percaya tahu bahwa setelah mereka mati, mereka akan masuk ke dalam surga dan tinggal selamanya di sana. Namun bila kita pelajari dengan lebih teliti, ternyata ajaran Alkitab lebih dari itu. Alkitab menceritakan tentang bumi yang baru dan kita akan hidup bersama Tuhan di sana (bumi yang baru).[6] Kalau Alkitab mengajar kita bahwa setiap orang percaya akan hidup dalam surga dan juga tinggal dalam bumi yang baru. Maka yang menjadi pertanyaannya disini adalah apakah surga yang di maksud oleh Alkitab adalah bumi yang baru? Apakah bumi yang baru itu sama dengan surga yang di maksud oleh Alkitab?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka ada baiknya kalau kita melihat definisi dari surga itu sendiri. Menurut Millard Erickson, kata heaven atau surga memiliki tiga pengertian. Pertama, surga berkenaan dengan alam semesta (Kej 1:1). Kedua, surga memiliki persamaan untuk Tuhan (Luk 15:18, 21). Dan yang ketiga yang paling penting, surga memiliki pengertian tempat kediaman Allah atau tempat dimana Allah hadir (Mat 6:9).[7] Berdasarkan definisi surga yang ketiga, maka penulis memberanikan diri untuk mengatakan bahwa bumi yang baru itu dapat dikatakan sebagai surga. Mengapa? Karena Allah hadir dalam bumi yang baru itu. Penulis juga menambahkan bahwa pada masa akhir zaman dimana Allah memperbaharui dunia ini maka tidak akan ada lagi yang namanya ruang dan waktu. Dengan kata lain, surga dan bumi tidak akan lagi terpisah sebagaimana kondisi yang sekarang ini, melainkan akan menjadi satu. Itu sebabnya, orang-orang percaya akan selama-lamanya berada di surga sementara mereka terus hidup di dalam bumi yang baru.[8] Grudem juga mengatakan “So there will be a joining of heaven and earth in this new creation, and there we will live in the presence of God.” Jadi menurut Grudem pada ciptaan yang baru, surga dan bumi akan menjadi satu, dan disanalah kita akan tinggal dihadapan hadirat Allah.[9]

PENTINGNYA DOKTRIN INI DENGAN IMAN KEPERCAYAAN KRISTEN.
Dalam Alkitab, ada beberapa bagian dimana Allah menceritakan tentang bumi yang baru. Dimana pada akhir zaman nanti Allah akan memulihkan bumi yang lama ini dan menjadikannya ciptaan yang baru. Janji Allah yang menceritakan tentang kejadian yang akan datang (khususnya tentang bumi yang baru) patut kita perhatikan dan pelajari.
Di bawah ini ada tiga alasan mengenai pentingnya doktrin bumi yang baru ini bagi orang-orang percaya. [10]
1. Untuk memahami kehidupan yang akan datang.
Setiap orang yang percaya tahu bahwa ketika mereka meninggal, mereka pasti akan hidup di sebuah tempat dalam surga yang kekal, jauh di atas bumi. Namun pandangan orang-orang percaya akan tinggal jauh di atas bumi tidaklah Alkitabiah. Mengapa? Karena Alkitab memberikan jaminan bahwa Allah akan menciptakan bumi yang baru di mana kita akan hidup untuk memuliakan Allah dengan tubuh yang sudah dibangkitkan dan dimuliakan.
2. Untuk memahami secara tepat rencana penebusan Allah secara keseluruhan.
Karya penebusan Kristus bukan hanya ditujukan untuk menyelamatkan sejumlah individu tertentu, melainkan sejumlah besar manusia yang di tebus dengan darah-Nya. Bahkan keseluruhan karya penebusan Kristus itu ditujukan untuk menebus seluruh karya ciptaan Allah dari segala akibat dosa. Karena itu, melalui doktrin ini kita memiliki pemahaman yang lebih jelas tentang rencana penebusan Allah secara kosmis.
3. Untuk memahami nubuat Perjanjian Lama dengan tepat.
Ada beberapa bagian dalam Perjanjian Lama yang berbicara tentang masa depan yang penuh dengan kemuliaan di bumi. Nubuat-nubuat ini menyatakan kepada kita bahwa di masa yang akan datang, bumi akan menjadi lebih baik, indah, dan damai. Dan nubuat ini akan digenapi ketika terciptanya bumi yang baru pada masa yang akan datang.

IMPLIKASI PEMAHAMAN BUMI YANG BARU DENGAN KEHIDUPAN ORANG-ORANG PERCAYA.
Setelah kita melihat penjelasan mengenai bumi yang baru dan pentingnya doktrin ini. Maka ada beberapa implikasi dari doktrin bumi yang baru ini terhadap orang-orang percaya pada masa ini.
· Kita harus menjaga hidup kita suci. Mengapa? Karena di bumi yang baru nanti, semua dosa dan ketidaksempurnaan akan dimusnahkan dan kebenaran akan ditegakkan dalam bumi yang baru. Kalau kita merupakan bagian dari warga bumi yang baru, maka sudah sepatutnya kita hidup dengan benar dalam dunia ini.
· Bumi yang baru memberikan kita pengharapan, semangat, dan optimisme. Oleh karena itu kita pun sebaiknya jangan mudah putus asa dalam dunia yang penuh kejahatan, ketidakadilan dan bencana ini.
· Jangan kita menganggap bahwa bumi sekarang ini sudah rusak, sehingga kita tidak perduli. Namun sebaliknya, kita harus berusaha untuk membuat bumi yang sekarang ini menjadi lebih baik.
· Dalam kehidupan ini kita sangat bergantung dengan alam di sekitar kita. Oleh karena itu jangan menyakiti alam ini, sebab dengan menyakiti alam ini maka sesungguhnya kita sedang menyakiti diri sendiri.[11]
· Kita diberi tanggung jawab untuk memelihara bumi ini (Kej 2:15-25). Walaupun dosa sudah meliputi dunia ini, tapi tugas tanggung jawab kita tetap. Setiap orang yang percaya bahwa apa yang kita lakukan memiliki dampak pada masa yang akan datang dan percaya bahwa Allah akan menyelamatkan dunia ini dan menjadikannya sebagai bagian dari rencana penebusan yang kekal maka akan menjaga dunia ini. Kita tahu sekarang bahwa Allah mencintai semua ciptaan tangan-Nya. Maka kita sebagai orang percaya juga harus mencintai ciptaan tangan-Nya dalam dunia ini.[12]

KESIMPULAN
Melalui pembahasan di atas jelas sekali bila pandangan penulis yang mengatakan bahwa suatu hari nanti bumi akan dimusnahkan adalah pandangan yang masih perlu di kaji secara terus menerus. Sebab bumi kita yang sekarang ini akan dipulihkan oleh Allah menjadi bumi yang baru, natur bumi yang sudah rusak karena dosa akan Allah pulihkan kembali kepada natur mula-mula bumi diciptakan, bahkan mungkin akan lebih mulia karena Allah akan hadir dan tinggal di bumi yang baru itu.
Setelah membahas mengenai bumi yang baru dalam tulisan ini, penulis merasa bahwa setiap orang percaya perlu untuk mempelajari doktrin ini, sebab sangat mempengaruhi bagaimana kita hidup dan bersikap dalam dunia ini. Tanpa adanya pengetahuan yang benar tentang bumi yang baru maka orang percaya akan memandang bumi ini dengan pandangan yang salah. Bahkan yang parahnya kita akan kehilangan semangat, pengharapan, dan optimisme ketika kita hidup dalam dunia yang sudah terdistorsi ini.

Kiranya melalui tulisan ini semua pembaca dapat lebih bersungguh-sungguh memperhatikan hidupnya dalam dunia ini. Biarlah penantian kita dalam dunia ini akan menuai kebahagiaan ketika kita berada di bumi yang baru suatu hari kelak.

[1]Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 1992) 621.
[2]Pandangan ini di pegang oleh David J. Macleod. Kita dapat membacanya melalui tulisannya yang berjudul “The Seventh ‘Last Thing’: The New Heaven and the New Earth (Rev. 21:1-8).” Bibliotheca Sacra 157/628 (October-December 2000) 439-451.
[3]Alasan penulis berkata bahwa “tema ini jarang di bahas” adalah karena beberapa buku Teologi Sistematika tidak membahasnya.
[4]Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika. 621-622.
[5]Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman (Surabaya: Momentum, 2004) 379-380.
[6]Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1994) 1158.
[7]Millard J. Erickson, Christian Theology (Grand Rapids: Baker, 1998) 1233-1235.
[8]Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman. 385.
[9]Wayne Grudem, Systematic Theology. 1158.
[10]Anthony A. Hoekema, Alkitab dan Akhir Zaman. 371-372.
[11]Aloysius Pieris, “Reconciliation – Justification for New Heaven and New Earth.” CTC Bulletin XIX/3 (December 2003) 52.
[12]Gale Z. Heide, “What Is New About The New Heaven And The New Earth? A Theology Of Creation From Revelation 21 And 2 Peter 3.” Journal of The Evangelical Theological Society 40/1 (March 1997) 57.