Entri Populer

Thursday, April 12, 2012

JESUS and HIS CROSS (Lukas 23:26-43)

Salib dalam PB digunakan sebagai lambang yang memalukan dan penghinaan.  Bagi orang Romawi, salib dipakai bukan hanya untuk menyiksa dan menghukum mati  tapi juga sebagai alat untuk menghukum orang dengan cara yang sangat memalukan (pengolokan, penghinaan, siksaan, ditelanjangi) di depan umum.  Jadi, orang yang disalibkan begitu terhina karena mati ditonton dihadapan orang banyak.  Sedangkan bagi orang Yahudi, salib adalah kutukan (Ul. 21:23).  Bagi orang pada waktu, seseorang yang disalib adalah orang yang terhina dan terkutuk.
            Namun yang menjadi perenungannya adalah, siapa yang tergantung di atas kayu salib pada waktu itu?? Tuhan Yesus . . . dan siapakah Tuhan Yesus?? Ia adalah Allah yang mulia . . . Pencipta alam semesta ini . . . Pemilik Surga dan Bumi inilah yang tergantung di atas kayu salib.  Di sana Ia dipermalukan dan menanggung kutuk! 
            Kalau penjahat-penjahat lain yang ada disebelah kanan dan kirinya dipermalukan dan menanggung kutuk karena kejahatan mereka.  Tetapi Tuhan Yesus tergantung di atas kayu salib, dipermalukan dan menanggung kutuk bukan karena akibat kesalahan-Nya.  Namun karena dosa-dosa manusia lah, Ia harus menangung salib itu.  Ia dikutuk karena ketidaksetiaan kita . . . karena kebencian kita . . . karena ketamakan kita . . . karena ketidakpercayaan kita . . . karena pelanggaran-pelanggaran kita kepada  Allah.  Karena dosa-dosa kita lah, Ia berkata: “Eloi . . . Eloi . . . lamakh sabakhtani!!!” “AllahKu . . . AllahKu . . . mengapa Engkau meninggalkan-Ku.”
            Walaupun Ia tahu di atas salib . . . murka Allah dilimpahkan kepada-Nya, tapi Ia tetap naik ke atas salib.  Ia dihina tapi Ia terdiam . . . Ia menderita tapi Ia tidak mengeluh diatas salib itu, sebaliknya Ia justru mendoakan mereka, kata-Nya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (ayat 34)
              Untuk apa Ia menanggung semuanya itu?? Bukankah lebih baik Ia menghukum kita saja . . . membinasakan kita karena tidak ada satu pun manusia dalam dunia ini yang dapat menyenangkan Dia karena dosa-dosa manusia.  Jelas sekali bahwa Ia melakukan semuanya ini karena KASIH-NYA kepada kita sehingga Ia mau naik ke atas salib itu dan menderita, supaya manusia yang percaya kepada-Nya bisa bersama-sama dengan Dia di sorga yang mulia. 

            Melalui karya SALIB Tuhan Yesus kita bisa melihat dua hal,
Pertama, berkaitan dengan waktu, tidak ada kata terlambat untuk menerima karya salib itu.  Karya salib itu selalu terbuka untuk semua orang yang menerima-Nya.  Kita bisa melihatnya pada ayat 41-43, di sana seorang penjahat berkata kepada penjahat lainnya dengan mengatakan: “Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini (Tuhan Yesus) tidak berbuat sesuatu yang salah.”  Lalu ia berkata kepada: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.”  Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” 
Pada bagian ini, kita bisa melihat bahwa penjahat yang tinggal menunggu ajalnya itu akhirnya percaya kepada Tuhan Yesus, dan saat itu juga ia bersama-sama dengan Tuhan Yesus di Firdaus.  Mendengar perkataan Tuhan Yesus ini, kita kembali disadarkan bahwa tidak ada kata terlambat untuk menerima Injil Kristus Yesus.  Karena itu, bila ada diantara kita yang masih belum percaya kepada Tuhan Yesus, sebagai Tuhan dan Juruselamat kita secara pribadi, maka hari ini terimalah Dia dengan sungguh-sungguh dan hari ini engkau akan bersama-sama dengan Tuhan Yesus di Firdaus. 
Mungkin ada diantara kita sebagai anak-anak Tuhan yang merasa seperti penjahat itu.  Kita merasa diri kita kotor . . . kita merasa diri kita jahat . . . sehingga kita berkata: “walaupun aku anak Tuhan, rasanya aku tidak pantas untuk Tuhan Yesus karena diriku yang kotor . . . yang hina . . . !!!  Hari ini jangan ragu untuk datang kepada Tuhan kita Yesus Kristus.  Selama Tuhan masih berikan kita kesempatan untuk bertobat, mari kita datang mengakui semua keberdosaan kita kepada-Nya dan engkau akan dipulihkan.  TIDAK ADA SATU PUN DOSA YANG TIDAK DAPAT DITEBUS OLEH TUHAN YESUS.  DAN TIDAK ADA SATU PUN DOSA YANG TIDAK DAPAT DIAMPUNI OLEH TUHAN KITA YESUS KRISTUS. 
Kedua, berkaitan dengan cakupan keselamatan.  Karya salib itu diberikan bukan untuk satu bangsa tapi diberikan kepada semua orang yang membuka hati-Nya untuk percaya kepada-Nya.  Kalau dalam status masyarakat, seorang penjahat adalah sampah masyarakat, tapi Tuhan Yesus juga melihat bahwa seorang penjahat juga berharga dihadapan-Nya, sehingga Ia juga mencurahkan darah-Nya untuk penjahat itu.  Keselamatan bukan hanya milik segelintir orang tapi semua orang yang mau percaya kepada-Nya (syaratnya adalah percaya).  Misalnya: saya pernah datang ke sebuah gereja di Solo.  Saya mendengar dari jemaat bahwa ada satu kampung yang tadinya dipenuhi oleh preman dan wanita tuna susila akhirnya kampung itu dimenangkan bagi Kristus.  Di sini kita melihat bahwa karya salib diberikan untuk  orang kecil . . . orang hina . . . sampah masyarakat . . . orang miskin yang ingin membuka hati-Nya bagi Kristus.      

            Lalu apa respon kita menanggapi karya salib Tuhan Yesus?
Pertama, percayalah kepada salib itu . . . karena melalui salib itu lah, kita diselamatkan dan dipersatukan kembali dengan Tuhan kita Yesus Kristus.
       Kedua, setiap orang yang percaya kepada-Nya sudah sepatutnya mengambil bagian dalam karya salib-Nya.  Mengapa? Sebab bagi orang percaya, salib bukan lagi lambang kehinaan dan murka Allah.  Tapi salib adalah lambang kemuliaan dan kasih Allah karena Tuhan Yesus tergantung di atas salib. 
         Salib itu diberikan Tuhan Yesus kepada kita, bukan pilihan kita!!  Sama seperti ketika Simon Kirene menanggung atau memikul salib Tuhan Yesus itu bukan karena dia mau tapi karena itu diberikan kepadanya (walaupun melalui paksaan semua prajurit, namun apa yang terjadi dalam kehidupan manusia ada dalam kehendak-Nya).
            Tentu saja, pemahaman yang benar mengenai mengambil bagian dalam karya salib-Nya itu adalah mengambil bagian dalam penderitaan bagi Kristus.  Namun sayangnya, banyak orang kristen yang meninggalkan Tuhan Yesus karena tidak memiliki pemahaman ini, sehingga tidak sedikit yang meninggalkan Tuhan Yesus karena tidak mau menderita.  Bahkan banyak orang Kristen karena takut ditolak dan menderita, mereka tidak lagi memberitakan Injil.  Padahal penderitaan dan penolakan adalah bagian dari salib Tuhan Yesus yang diberikan kepada kita dan yang harus kita pikul di dalam mengikuti-Nya. 
          Kalau kita melihat kehidupan saat ini, kita dapat menemukan ada begitu banyak orang Kristen yang mundur bila mendapatkan penderitaan, pergumulan dan permasalahan hidup yang berat.  Misalnya: saya pernah tinggal setahun di wilayah Indonesia Timur.  Di sana saya sering mendengar bahwa ada banyak orang-orang Kristen yang meninggalkan iman mereka karena ingin mendapatkan sekolah gratis dan bantuan sosial lainnya.  Akhirnya mereka meninggalkan Tuhan Yesus demi tawaran dunia dan kenikmatan pribadi.
Saya yakin tidak ada seorang pun yang ingin menderita dalam dunia ini, tapi kalau kita harus menderita demi Tuhan Yesus itu adalah sebuah kemuliaan bagi kita.  Lagipula dalam penderitaan dan pergumulan hidup yang kita alami setiap hari, kita juga belum sampai mencucurkan darah demi nama Tuhan Yesus.  Firman Tuhan berkata dalam Lukas 9:23, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” 
Bila kita adalah sungguh-sungguh murid-Nya, marilah kita menghadapi salib penderitaan karena Kristus, Tuhan kita.  Marilah kita menerima semuanya itu, karena kita yakin bahwa salib yang kita adalah lambang kemuliaan yang Tuhan berikan bagi orang percaya.  Janganlah kita menghindari salib itu, tapi lihatlah salib itu sebagai kemuliaan kita sehingga kita berlomba-lomba berkarya bagi salib-Nya.  

Sunday, April 8, 2012

FOLLOWING JESUS: Pay the Cost (Matius 8:21-22)

Dalam sebuah acara penghiburan, ada seorang anak yang beragamakan Kristen.  Namun ayahnya yang meninggal itu adalah seorang yang masih belum percaya kepada Kristus, sehingga almarhum menggunakan upacara keagamaannya.  Pada waktu itu, ada seorang jemaat bertanya kepada saya demikian: “Pak, tahu gak semua anak-anaknya itu adalah orang Kristen, bukankah seorang yang sudah menjadi orang Kristen tidak boleh melakukan ritual - agama ayahnya - tersebut?”  Menurut Bapak bagaimana? Lalu jemaat yang lainnya juga mengatakan: “Memang sulit yah pak, kalau kita jadi anak itu dan tidak melakukan hal tersebut maka kita akan dianggap sebagai anak yang tidak berbakti, dan akhirnya akan terjadi perselisihan dalam keluarga.”
Kemudian dalam sebuah kelas katekisasi, seorang remaja mengatakan bahwa ia dipaksa oleh keluarganya untuk mengikuti ritual agama keluarga mereka yang bertentangan dengan iman kekristenan (seperti: sembahyang kepada nenek moyang).  Ia mengatakan bahwa, ia terpaksa melakukannya . . . dan ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa setelah orang yang memaksanya itu “tidak ada lagi,” ia akan membersihkan rumahnya dari ritual-ritual tersebut.
Menanggapi pertanyaan dan pernyataan tersebut, seringkali kasus-kasus praktis dalam kehidupan ini dapat menimbulkan dilema dalam iman kita.  Karena itu, ketika saya mendengarkan kisah-kisah tersebut saya kembali teringat dengan  sebuah bagian Firman Tuhan yang terambil dari Matius 8:21-22.  Melalui tulisan ini saya akan mengulas kembali mengenai maksud perkataan Tuhan Yesus dalam bagian ini.  Setelah itu saya akan memberikan implikasi (dampak) dan relevansi perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 8:21-22 dengan kisah di atas.  Kemudian di bagian akhir saya akan memberikan kesimpulan.

LATAR BELAKANG MATIUS 8:21-22
Pada perikop ini, jelas sekali bahwa Tuhan Yesus mengajarkan mengenai HARGA yang harus dibayar oleh orang-orang yang ingin mengikuti Dia.  Dengan kata lain, Tuhan Yesus ingin mengingatkan kembali para pembacanya mengenai PEMURIDAN yang SEJATI.  Melalui bagian ini, kita melihat ada seorang murid Tuhan Yesus - kemungkinan besar bukan salah satu dari kedua belas murid Tuhan Yesus, tapi seseorang dari sekumpulan besar orang-orang yang ingin mengikuti Tuhan Yesus[1] -  Seorang murid itu meminta kepada Tuhan Yesus untuk menguburkan ayahnya, baru setelah itu ia akan mengikuti-Nya.  Namun Tuhan Yesus mengatakan kepadanya, “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.”
Dalam kebudayaan Yahudi kuno, menguburkan seorang ayah merupakan suatu tugas keagamaan, sebab hukum Taurat pun mengajarkan kepada bangsa Israel untuk menghormati ayah dan ibu mereka (lih. Kel. 20:19).  Pada bagian ini,  kemungkinan besar murid ini bukan meminta ijin untuk pergi ke pemakaman ayahnya, tapi untuk berhenti mengikuti Tuhan Yesus sampai ayahnya meninggal.  Padahal Mungkin ia adalah seorang anak sulung dan menginginkan kepastian mengenai warisannya, atau mungkin juga ia tidak mau menghadapi kemarahan ayahnya bila ia meninggalkan usaha keluarga untuk mengikuti Tuhan Yesus dan menjadi pengkhotbah keliling.[2]   
Lagipula bila kita melihat dalam kebudayaan Yahudi, dalam menguburkan seorang ayah yang baru saja meninggal, orang itu harus ikut berpartisipasi selama enam hari perkabungan setelah kematian tersebut.  Bila kita melihat dari sudut pandang panggilan untuk pemuridan, hal ini menunjukkan adanya penundaan.[3]  Jadi di sini jelas sekali bahwa murid itu ingin menunda-nunda di dalam mengikuti Tuhan Yesus dan juga tidak mau membayar harga di dalam mengikutiNya. 
Hal ini terlihat jelas dari perkataannya dan Tuhan Yesus juga merasakan adanya keengganan dalam dirinya.  Makanya tidaklah mengherankan bila kita melihat sebuah reaksi negatif dari Tuhan Yesus yang mengatakan: “Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka.”  Melalui kata Tuhan Yesus: “Ikutlah Aku . . .” Tuhan Yesus menantang muridNya untuk mempertimbangkan bahwa komitmennya harus sungguh-sungguh tanpa ada rasa keberatan.  Jika orang ini benar-benar menginginkan untuk mengikuti Yesus, maka ia tidak akan menunggu sampai  ia telah memenuhi seluruh tanggung jawab tradisinya.[4] 
Pada bagian ini Tuhan Yesus tidak menyarankan bahwa anak-anak mengabaikan tanggung jawabnya kepada orang tua.  Sebaliknya, Tuhan Yesus menguji loyalitas murid itu kepada Nya, sama seperti dalam tradisi Yahudi, di mana seorang imam besar dan orang-orang yang telah mengambil sumpah nazar diharuskan oleh hukum untuk menghindari mayat bahkan orang tua (lih. Im. 21:11; Bil. 6:6).  Bahkan ada ketetapan Yahudi yang mengatakan bahwa seorang mahasiswa tidak boleh berhenti belajar untuk mengubur orang mati.  Sebagai Anak Allah, Tuhan Yesus memiliki kapasitas untuk tidak segan-segan menuntut kesetiaan lengkap.  Bahkan loyalitas kepada keluarga tidak boleh mengambil prioritas dalam tuntutan ketaatan manusia terhadap diri-Nya.[5]          
Jadi, di sini kita melihat bahwa kewajiban kita sebagai anak, keamanan finansial, persetujuan keluarga atau sesuatu yang lain tidak boleh melebihi komitmen atau loyalitas kita terhadap Tuhan Yesus.  Dengan kata lain, Tuhan Yesus harus menjadi yang paling utama dari segala prioritas kehidupan kita.  A Follower of Jesus Christ had to pay any cost to following Him in their life.    

IMPLIKASI MATIUS 8:21-22 TERHADAP PEMURIDAN MASA KINI
      Murid Kristus sejati adalah murid yang bersedia untuk membayar harga di dalam mengikuti-Nya.  Bila dihubungkan dengan kisah di atas, sikap murid Kristus yang berani membayar harga adalah sikap yang non-kompromi dengan pandangan, ajaran, dan budaya dalam dunia ini.  Mengenai sikap non-kompromi ini, John Stott mengatakan dalam bukunya yang berjudul The Radical Discipleship,
gereja – atau orang percaya - memiliki tanggung jawab ganda dalam kaitannya dengan dunia sekitar kita.  Di satu sisi kita ada untuk hidup, melayani, dan bersaksi di tengah-tengah dunia ini.  Namun pada sisi yang lain kita menghindarkan diri agar tidak terkontaminasi oleh dunia ini.[6] 
Sebagai kaum orang percaya atau orang Kristen, kita dipanggil untuk dapat melihat batasan jelas itu,  sehingga kita tidak terjatuh ke dalam sikap melarikan diri dari dunia ini (eskapisme) atau terjatuh kedalam sikap kompromi sehingga kita menjadi sama dengan dunia ini (konformisme).  Ia juga menambahkan bahwa,
panggilan Allah adalah pemuridan yang radikal yakni non-konformitas yang radikal terhadap budaya yang ada di sekitar kita.  Ini adalah panggilan untuk menumbuhkan sebuah budaya alternatif (counter culture) Kristiani, sebuah panggilan untuk terlibat namun tidak berkompromi.”[7] 
Jadi, disini jelas sekali bahwa sebagai seorang murid, kita tidak terpisah dari dunia ini.  Namun dalam kehidupan di dunia ini, kita perlu memiliki pemikiran dan kehidupan yang berbeda dari dunia ini.  Karena itu, dalam kehidupan kita di dunia ini, kita harus menjadi murid-murid Kristus yang radikal yang tidak sama dengan dunia ini.  Seperti yang Tuhan Yesus katakan dalam Matius 6:8, “Janganlah kamu seperti mereka” dan Rasul Paulus katakan dalam Roma 12:2, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.”      
Bila prinsip non-kompromi ini dihubungkan dengan kisah diatas, jelas sekali bahwa dengan mengambil bagian dalam ritual agama yang bertentangan dengan iman Kristen, mereka telah mengambil sikap kompromi.  Akibatnya, orang-orang yang tidak tahu bahwa mereka adalah pengikut Kristus akan melihatnya mereka sebagai pengikut agama lain - saya sendiri juga baru menyadari bahwa mereka adalah orang Kristen karena ada yang memberitahukannya pada saya, bila tidak maka saya pun akan melihat mereka sebagai orang-orang non-kristen – sedangkan bagi orang yang tahu bahwa mereka adalah orang Kristen tentu saja akan menjadi batu sandungan.      
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sikap mereka yang melakukan kompromi terhadap budaya ataupun keinginan orang lain (orang tua) menunjukkan bahwa mereka bukanlah murid-murid Tuhan Yesus yang radikal yang mau membayar harga dalam mengikuti-Nya.    

KESIMPULAN

      Dalam kehidupan iman kita untuk menjadi murid Kristus yang sejati, banyak hal yang terlihat “abu-abu” atau tidak jelas.  Akibatnya, seringkali kita memikirkan dan mencari solusi yang tidak berdasarkan kepada prinsip Firman Tuhan, sehingga tidaklah mengherankan bila banyak orang Kristen yang mengambil sikap kompromi di dalam menyelesaikan permasalahannya.  Banyak orang Kristen yang akhirnya tidak mau membayar harga di dalam mengikuti Kristus.  Karena itu, biarlah tulisan ini dapat mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk menjadi murid Kristus yang sejati,  dan seorang murid Kristus yang sejati adalah seorang murid yang mau membayar harga untuk terus setia mengikuti-Nya.




[1]Donald A. Hagner, Matthew 1-13. WBC (Vol. 33a; Dallas: Word, 2002) 217.
[2] B. B. Barton, Matthew. LABC (Wheaton, Illinoise: Tyndale House Publishers, 1996) 160.
[3]Hagner, Matthew 1-13. WBC: 217.
[4]Barton, Matthew. LABC: 160.
[5]Ibid.
[6]John Stott, (Surabaya: Literatur Perkantas Jatim, 2010) 15.
[7]Ibid. 16-17