Entri Populer

Monday, March 14, 2011

REFLEKSI: Siapakah Sesamaku Manusia?? (Luk. 10:25-37)

        Siapakah sesamaku manusia?”  Pertanyaan ini diajukan oleh seorang ahli Taurat yang berusaha mencobai Tuhan Yesus dan membenarkan dirinya.  Sebenarnya orang ini (ahli Taurat) tahu betul siapa yang dimaksud dengan sesamanya manusia.  Namun menurut pemahamannya, yang dimaksud dengan sesama manusia adalah orang-orang yang terdekat dengan dirinya atau setidaknya orang-orang yang satu bangsa dengan dirinya (yaitu: sesama orang Yahudi).  Karena itulah, Tuhan Yesus menggunakan perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati ini.  Tujuannya adalah agar ahli Taurat itu dapat melihat bahwa yang dimaksud dengan sesama manusia itu lebih luas dari pemahamannya. 
            Berbeda dengan para pemuka agama (imam dan orang Lewi) yang seharusnya tahu bagaimana mengasihi sesamanya manusia karena mereka lebih “tahu” Firman Allah.  Namun  ternyata mereka tidak mempedulikan dan bahkan menghindari orang yang “sekarat” karena dirampok oleh para penyamun.  Orang Samaria yang dipandang sebelah mata dan juga dianggap sebagai musuh oleh orang Yahudi, ternyata pada bagian ini Tuhan Yesus menceritakan bahwa orang Samaria ini menolong orang Yahudi - yang seharusnya menjadi musuhnya - yang sekarat itu dengan totalitas yang begitu besar.  Dia membalut luka-lukanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, menaikkannya ke atas keledai tunggangannya, dan membawa ke tempat penginapan untuk merawatnya (ayt. 34).  Bahkan orang Samaria itu membayar biaya pengobatan sampai orang yang dirampok itu sembuh. 
            Kalau kita melihat apa yang dilakukan orang Samaria itu, sungguh dia melakukannya dengan totalitas yang begitu tinggi.  Namun yang menjadi pertanyaannya, kenapa orang Samaria itu mau repot-repot melakukannya? Bukankah yang ditolong itu adalah musuhnya? Orang Samaria itu melakukan semua itu karena dia tidak memiliki “batasan-batasan” mengenai siapa sesamanya.  Baginya, orang yang menderita dan membutuhkan pertolongan adalah sesamanya yang perlu ditolong.  Perbedaan ras, suku bangsa, ekonomi, golongan sosial, dan juga garis keluarga tidak menghalangi dirinya untuk manyatakan kasih Allah. 
Melalui orang Samaria yang baik hati ini, kita dapat belajar bagaimana seharusnya kita memandang dan mengasihi sesama kita.  Sebagai anak-anak Tuhan, seharusnya kita tidak membuat batasan-batasan di dalam menyatakan kasih Allah.  Perbedaan ras, kelas sosial, ekonomi dan apapun juga itu (termasuk musuh kita sekalipun), seharusnya tidak menjadi hambatan bagi kita untuk menyatakan kasih Allah.  Marilah kita belajar dari orang Samaria yang baik hati ini . . . milikilah belas kasihan kepada sesama kita . . . sehingga kita dapat menjadi berkat buat orang-orang yang ada disekitar kita.    
            Ketika kita melihat ke sekeliling kita, dan bertanya: “Tuhan, siapakah sesama manusia?”  Kita akan menemukan bahwa sesama kita bukan hanya orang-orang yang ada di dalam gereja, keluarga, teman pergaulan kita, teman satu suku dengan kita.  Tapi sesama kita adalah orang-orang yang dipandang hina dan yang dianggap sampah oleh dunia ini.  Anak-anak jalanan, pengemis, pengamen, orang yang terjatuh pada narkoba dan lain sebagainya.
            Seorang hamba Tuhan bercerita dalam khotbahnya mengenai kehidupan seorang anak jalanan yang dia asuh.  Kisah ini dimulai ketika ayah anak itu dihukum 20 tahun penjara karena telah membunuh orang.  Mendengar suaminya dipenjara, istrinya langsung pergi dari rumah, dan meninggalkan anaknya yang baru berusia 7 tahun ini sendirian.  Seorang anak yang masih kecil ini tidak tahu harus berbuat apa dan tidak tahu harus makan apa!!  Akhirnya anak ini mengumpulkan kantong plastik dan membuat sebuah atap untuk berteduh . . . anak ini pun tinggal di sebelah bak penampungan dekat penjara. 
Setiap pagi, anak ini bertemu dengan ayahnya melalui lubang gerbang penjara.  Melalui lubang itu, ayahnya berkata: “nak, hari ini kamu harus menghasilkan uang sekian besarnya, kalau kamu tidak bawa uang sesuai dengan apa yang bapa minta . . maka kamu jangan datang ke sini.”  Akhirnya anak ini pergi dan mengemis di pinggiran jalan . . . dia mengumpulkan uang sesuai dengan permintaan ayahnya.  Dia bercerita kepada hamba Tuhan ini bahwa uang yang dikumpulkannya tidak bisa dipakai untuk makan.  Mengapa? Sebab dia harus mengumpulkan sejumlah uang yang diminta oleh ayahnya.  Kalau tidak, maka dia tidak memiliki tempat tinggal lagi.  Anak ini telah dimanfaatkan oleh ayahnya . . . tapi ayahnya pun terpaksa melakukan hal itu karena ayahnya ini juga diperas oleh sipir penjara.  
Kebanyakan orang hanya melihat anak ini sebagai pengemis.  Bagi masyarakat modern, seorang pengemis, anak-anak terlantar, dan pengamen adalah “SAMPAH” kota yang harus dibersihkan.  Bagaimana cara pandang gereja dan umat Tuhan??  Apakah orang seperti anak ini adalah “SAMPAH DUNIA?” atau “SESAMA KITA?”  Bila kita memandang mereka sebagai SESAMA KITA, apa yang telah kita lakukan bagi mereka??? apakah kita peduli dengan mereka dan mau menolong mereka??? Setidaknya sudahkan gereja dan umat Tuhan memikirkan apa yang bisa kita perbuat bagi “SESAMA KITA” yang dipandang “SAMPAH” oleh dunia ini!!! 
Tuhan Yesus dalam kisah ini berkata: “Jadi, siapakah sesama manusia?”  Jawab ahli Taurat itu: “orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.”  Jadi, hanya orang yang memiliki dan menunjukkan belas kasihan Allah kepada sesamanya lah yang disebut dengan SESAMA.  Tuhan Yesus menutup percakapan ini dengan berkata: “Pergilah dan perbuatlah demikian.”  Maksudnya adalah jangan kita terus mempertanyakan mengenai siapakah sesama manusia . . . tapi PERGI dan NYATAKAN lah belas kasihan itu kepada orang-orang yang ada disekitar kita.  Baik itu keluarga kita . . . teman-teman kita . . . sanak saudara kita . . . bahkan orang yang dianggap sebagai MUSUH dan juga SAMPAH DUNIA.  Kiranya Tuhan memakai gereja Tuhan dan umat-Nya untuk menyatakan belas kasihan Tuhan kepada sesama kita.

No comments:

Post a Comment